Archive for April 3rd, 2010

KHOTBAH IDUL FITRI

KHOTBAH IDUL FITRI

Memaafkan, Menjaga Persatuan Kesatuan dan Keharmonisan
16/09/2009

Syaifullah Amin *

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ  الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ  الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ  لاَإلَهَ إلاَّ الله ُوَالله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْد ، الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ بِنِْعمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتِ الَّذِيْ هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلاَ أنْ هَدَانَا الله ُ ،

  أشْهَدُ أنْ لاَإلَهَ إلاَّ الله ُوَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ الَّذِيُ خَصَّنَا بِخَيْرِ كِتَابٍ أُنْزِلَ وَأَكْرَمَنَا بِخَيْرِ نَبِىٍّ أُرْسِلَ وَأَتَمَّ عَلَيْنَا النٍّعْمَةَ بِأَعْظَمِ دِيْنِ شَرْعٍ دِيْنِ اْلإسْلاَمِ ، أليَوْمَ أكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإسْلَمَ دِيْنًا ، وَ أشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ أَدَّى اْلأَمَانَةَ وَبَلَّغَ الرِّسَالَةَ وَنَصَحَ اْلأُمَّةَ وَتَرَكَنَا عَلىَ اْلمَحَجَّةِ اْلبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا ، لاَيَزِيْغُ عَنْهَا إلاَّ هَالِكٌ, أللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحَابَتِهِ الطَّاهِرِيْنِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإحْسَانٍ إلَى يَوْمِ الدِّيْنِ . أمَّا بَعْدُ ،

فَيَا عِبَادَ اللهِ ! اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ, وَاعْلَمُوْا أَنَّ يَوْمَكُمْ هَذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ وَعِيْدٌ كَرِيْمٌ, قَالَ الله ُعَزَّ وَجَلَّ : وَلِتُكْمِلُوْا العِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلىَ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Hadirin Sidang Sholat Idul Fitri yang Dimuliakan Allah
Kalimat Takbir “Allahu Akbar” yang kita kumandangkan setiap saat, merupakan pangkalan kita bertolak dan berlabuh. Kalimat takbir ini kita selalu kita kumandangkan, baik di masa-masa damai tenteram dan kita kumandangkan pula ketika masa-masa kritis dan mencekam.

Kalimat takbir yang sama, yang sedang kita kumandangkan saat ini, adalah kalimat takbir yang juga dikumandangkan oleh para pahlawan bangsa kita pada tanggal 10 Nopember 1945 lalu.

Kalimat takbir ini melambangkan keagungan dan kebesaran Allah. Kalimat ini pulalah yang mempersatukan seluruh umat Islam di muka bumi. Dalam kandungan takbir terpancar aneka kesatuan, seperti kesatuan alam semesta, kesatuan dunia dan akhirat, kesatuan natural dan supranatural, kesatuan ilmu dan kesatuan umat.

Dengan kesatuan alam semesta, maka segala wujud di alam raya ini, dari yang terkecil sampai yang terbesar, benda-benda bernyawa atau tidak, baik yang terdeteksi indera maupun tidak, seluruhnya berada dalam satu kendali, diciptakan dan diatur oleh Dzat Yang Maha Agung, yakni Allah SWT. Dzat yang mengendalikan seluruh alam, yang tiada satu pun dari isi dunia yang dapat mengelak dari ketetepan-Nya.

Allah SWT berfirman:

      وَلِلّهِ يَسْجُدُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ طَوْعاً وَكَرْهاً وَظِلالُهُم بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ
”Hanya kepada Allah-lah segala yang di langit dan di bumi bersujud, baik dengan keinginannya sendiri ataupun terpaksa (dan bersujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang.” (QS. ar-Ra’d, 15:13)

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ ْ وَلِلَّهِ الْحَمْد

Hadirin Ikhwanil Muslimin Rahimakumullah
Dalam kesatuan alam raya inilah, seluruh mahluk harus bekerja sama dalam kebajikan. Sehingga daris inilah rasa aman dan damai memeperoleh pijakan yang kuat.

Kita sebagai manusia yang beriman kepada Allah adalah khalifah di bumi. Sehingga kita harus mewujudkan kedamaian. nah, sebagai Khalifah Allah ini, tugas kita dimulai dari lingkup terkecil, bermula dari diri sendiri, keluarga, lingkungan masyarakat,  bangsa negara dan seluruh bumi. Bahkan ke seluruh jagad raya yang berlanjut ke negeri kekal di akhirat nanti.

Kedamaian bermula dari jiwa manusia. Tidak akana da kedamaian jika terdapat cekcok dan perselisihan, bahkan dengan diri sendiri sekali pun. Karenanya setiap individu Mukmin haruslah tunduk dan patuh kepada satu penguasa, satu pengendali yang menciptakan keselarasan di muka bumi, yakni Allah SWT. Janganlah pernah berani membuat perselisihan dengan Allah melalui cara-cara mempersekutukan-Nya. Jangalah pernah mencari perlindungan selain daripada perlindungan Allah SWT.

Allah SWY berfirman:
 

  ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً رَّجُلاً فِيهِ شُرَكَاء مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلاً سَلَماً لِّرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلاً الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
” Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. az-Zumar, 39:29)

Ayat ini menggambarkan kepada kita bahwa, seorang budak yang harus tunduk kepada beberapa majikan yang memilikinya, namun majikan ini saling berselisih dan bersengketa. Tentu budak semacam ini akan merasa risau dan gelisah, pada akhirnya ia menjadi pengidap kepribadian ganda atau munafik. 

Bandingkan dengan keadaan budak yang hanya dimiliki oleh seorang majikan saja. Ia pasti tidak akan bingung, apalagi jika sang majikan berperilaku terpuji.

Maka ayat ini pun merupakan penggambaran dari seseorang yang mempersekutukan Tuhan dan percaya bahwa ada Tuhan-tuhan pengatur dan pengendali selain Allah. Maka bandingkanlah keadaannya, keadaan jiwanya, dengan seorang pribadi Mukmin yang hanya percaya dan patuh kepda Allah sebagai satu-satunya penguasa dan pengendali seluruh alam raya.

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ ْ وَلِلَّهِ الْحَمْد

Hadirin Jamaah Idul Fitri yang Berbahagia
Demikian pula kita akan menemukan keutuhan kepribadian dan kesatuan di balik kalimat Takbir yang sedang berkumandang di hari raya Idul Fitri ini.
Bagaimanapun kondisi kita, apakah kita sedang sedih, berduka ataupun sedang bersiuka ria, atau sedang terancam bahaya misalnya. Dengan kalimat takbir kita akan selalu merasakan diri sebagai pribadi yang utuh yang hanya menyembah dan berpasrah kepada satu Dzat Yang maha Agung.

Bila takbir telah terpatri dalam dada, maka segala perbuatan dan ucapan kita akan menyatu dalam keteguhan dan keyakinan serta pengabdian kepada Allah SWT. Orang-orang yang telah menyatu dengan kalimat Takbir dalam kesehariannya, akan menjadi pribadi yang membawa manfaan dalam kehidupan diri dan lingkungan sekitarnya.

Bila beruntung dia akan bersyukur, bila diuji dia akan bersabar, jika ditegur ia menyesal dan bila bersalah akan beristighfar dan meminta maaf serta berani bertanggungjawab.

Demikian Agungnya kalimat Takbir, jika dihayati makna dan pesan-pesannya. Sehingga, Takbir ini diperintahkan oleh Allah untuk dikumandangkan, begitu selesai bilangan bulan teragung, bilangan puasa Ramadhan.

وَلِتُكْمِلُوااْلعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُاللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ ولَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

”Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. al-Baqoroh, 2:185)

Tanpa mengumandangkan takbir, kita tidak akan dapat dinamai bersyukur, padahal tanpa bersyukur, maka siksa Allah telah menanti kita.

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ ْ وَلِلَّهِ الْحَمْد

Dengan berakhirnya Ramadhan, tentu kita berharap, kiranya telah dapat mencapai ketakwaan kepada Allah SWT. Ketakwaan yang hanya dapat tercapai bila kita memiliki keimanan. Artinya ketakwaan dan keimanan adalah simbol kesatuan dalam ketauhidan. Iman membuahkan persatuan dan kesatuan. Sedangkn kufur mengantarkan kepada perselisihan dan perpecahan.

Pada Masa hidup Rasulullah SAW,  ketika sekelompok kaum muslimin hampir terpengaruh oleh bisikan apra pemecah belah, turunlah peringatan Allah SWT yang menamai keimanan dengan persatuan dan perpecahan dengan kekufuran.

Allah memperingatkan mereka yang nyaris terpecah belah dengan firmannya:

يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ
“Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram.” (QS. Ali Imran, 3:106).

Dalam kehidupan duniawi, mereka yang bersatu dan bekerja sama untuk kemaslahatan bangsa dan masyarakatnya akan memiliki wajah yang berseri-seri. Keceriaan nampak jelas di wajah ketika mereka memetik hasil dari persatuan dan kerjasama dalam kebajikan.

Sedangkan mereka yang berpecah-belah dan saling bersengketa, pun telah diperingatkan dan diancam oleh Allah dalam firman-Nya,

 فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكْفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ
“Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): “Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu”. (QS. Ali Imron, 3:106)

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ ْ وَلِلَّهِ الْحَمْد

Saudara-saudara sekalian yang dimulyakan Allah
Idul Fitri yang berarti kembali kepada kesucian, mengantarkan kita kepada persatuan dan kesatuan umat.  JIka kita memahami arti persatuan dan kesatuan, tentu di sana kita menemukan dua kata yang akan mengantarkan kita kepada makna Fitri (kesucian) yang sebenarnya.

Kata kunci pertama dalam persatuan dan kesatuan adalah keharmonisan. Seseorang yang beragama harus selalu merasa bersama dengan orang lain. Dapat menghargai kehadiran orang lain dan menjaga perasaan orang-orang di sekelilingnya. Keadaan saling menyadari dan menjaga perasaan orang-orang disekelilingnya inilah yang disebut sebagai keharmonisan. masyarakat yang bersatu dalam keimanan kepada Allah SWT akan saling menjaga agar tidak saling berbantah-bantahan dan bersengketa di antara sesama anggota masyarakatnya.

Hal ini  dikarenakan, masyarakat yang bersatu akan senantiasa berusaha menjaga agar tidak terjadi keadaan sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT,

وَأَطِيعُواْ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَلاَ تَنَازَعُواْ فَتَفْشَلُواْ وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُواْ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
”Dan ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al-Anfaal, 8:46)

Dalam masyarakat yang harmonis, egoisme seorang muskim menjadi lebur dalam kesetaraan dan kesederajatan manusia sebagai hamba Allah yang bertauhid. Masyarakat yang harmonis adalah membangun hubungan atasa dasara kesatuan visi dan misi dalam ketakwaan, keimanan dan kebajikan.

Mereka saling-berlomba-lomba dalam kebajikan sembari tetap menjaga keharmonisan. Masyarakat yang harmonis dalam persatuan dan ketaqwaan akan saling terlibat dalam keseharian sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya :

كَالجَسَدِ اْلوَاحِدِ ، إذَا اشْتَكىَ مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعىَ سَائِرُ الأعْضاَءِ بِالسَّهَرِ وَاْلحُمىَ مِنْهُ
”Bagaikan satu jasad, bila salah satu organnya merasakan penderitaan, maka seluruh tubuh akan merasa demam dan tidak dapat tidur.”

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ ْ وَلِلَّهِ الْحَمْد

Hadirin Sidang Idul Fitri Rahimakumullah
Kata kunci dalam persatuan dan kesatuan umat yang kedua adalah saling memaafkan. Pada zaman pra Islam, orang-orang akan sangat merasa terginggung, memendam amarah dan menunggu untuk memwaktu balas dendam jika disakiti. Kemudian datanglah Rasulullah SAW dengan ajaran baru, yakni ajaran untuk memaafkan.

Ketika pada zaman Nabi, orang-orang enggan memaafkan, maka Allah SWT menegur mereka dalam firman-Nya :

وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
”Dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. an-Nuur, 24:22)

Maka marilah di hari yang Fitri ini kita kembali kepada inti ajaran tauhid, yakni persatuan dan kesatuan umat.  marilah menciptakan dan menjaga keharmonisan di antara sesama umat Muslim, sesama anggota masyarakat dan sesama bangsa.  Marilah kita saling memaafkan dengan mengibarkan bendera perdamaian (as-Salam) sembari berdoa:

َالَّلهُمَّ أنْتَ السَّلاَمْ وَمِنْكَ السَّلاَمْ وَإليَكْ َيَعُوْدُ السَّلاَمْ  فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِالسَّلاَمِ وَأدْخِلْنَا اْلجَنَّةَ دَارَ السَّلاَمِ أّنْتَ رَبُّنَا ذُوْالجَلاَلِ وَالإكْراَمِ
َا

“Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Damai. Dari-Mu bersumber kedamaian, Kepada-Mu Kembali Kedamaian. Tuhan kami, Hidupkanlah kami dengan penuh kedamaian dan masukkanlah kelak kami ke surga, negeri yang penuh kedamaian. Engkau pemelihara kami, lagi pemilik keagungan dan kemuliaan.”

اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. وَاَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ ربِّهِ ونَهَيَ النَّفْسَ عَنِ اْلَهوَى فَاِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ اْلمَأْوَى. جَعَلَنَا اللهُ وَاِيَّاكُمْ مِنَ اْلعَائِدِيْنَ وَاْلفَائِزِيْنَ وَاْلمَقْبُوْلِيْنَ وَاَدْخَلَنَا وَاِيَّاكُمْ فِى زُمْرَةِ عِبَادِهِ الصَّالِحِيْنَ وَاَقُوْلُ قَوْلِى هَذَا وَاسْتَغْفِرُ لِى وَلَكُمْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِسَائِرِ اْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرْهُ اِنَّهُ هُوَاْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

KHUTBAH KEDUA

اللهُ اَكْبَرْ (3×) اللهُ اَكْبَرْ (4×) اللهُ اَكْبَرْ كبيرا وَاْلحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ الله بُكْرَةً وَ أَصْيْلاً لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَالللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ وَللهِ اْلحَمْدُ. اْلحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ تَعْظِيْمًا لِشَأْنِهِ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ

اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَِثيْرًا. اَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَزَجَرَ.وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ

وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَْلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ.

اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ


* Syaifullah Amin
Anggota PP Lajnah Ta’lif wan Nasyr NU, pengajar Pesantren Al-Hikmah Jakarta Utara

KHOTBAH RAMADHAN

Umat Islam Diundang Menjadi Tamu Allah di Bulan Ramadhan
14/08/2009

Oleh: Ust. Syaifullah Amin *

ألحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ فَضَّلَ أَوْقَاتَ رَمَضَانَ عَلىَ غَيْرِهِ مِنَ اْلأزْمَانِ ، وَأنْزَلَ فِيْهِ القُرْآنَ هُدًى وَبَيِّنَاتٍ مِنَ اْلهُدَى وَاْلفُرْقَانِ ، نَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَنَشْكُرُهُ وَأشْهَدُ أنْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأشْهَدُ أنَّ نَبِيِّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ كَانَ يَخُصُّ رَمَضَانَ بِمَا لَمْ يَخُصُّ بِهِ غَيْرَهُ ، مِنْ صَلاَةٍ وَتِلاَوَةٍ وَصَدَقَةٍ وَبِرٍّ وَإحْسَانٍ ، أللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِه ِوَأصْحَابِهِ الطَّاهِرِيْنَ الَّذِيْنَ آثَرُوْا ِرضَا اللهِ عَلىَ شَهَوَاتِ نُفُوْسِهِمْ فَخَرَجُوْا مِنَ الدُّنْيَا مَأْجُوْرِيْنَ وَعَلىَ سَعْيِهِمْ مَشْكُوِْرْينَ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًاً كَثِيْرًاً إلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كِتَابِهِ اْلكَرِيْمِ : شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْ أنْزَلَ فِيْهِ القُرْآنَ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ اْلهُدَى وَاْلفُرْقَانِ

أمَّا بَعْدُ : فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ فِي السِّرِّ وَاْلعَلَنِ  فَهِيَ جَمْعُ الْخَيْرِ كُلِّهِ فَاجْعَلُوْا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ عَذَابَ اللهِ وِقَايَةٌ بِفِعْلِ اْلأَوَامِرِ وَتَرْكِ النَّوَاهِيْ   ، فَاللهُ أَكْبَرُ مَا أعْظَمَ هَذاَ الشَّهْرَ وَمَا أعْظَمَ مِنَّةََ اللهِ عَلَيْنَا بِهِ
Hadharatal Muhtaromin Rohimakumullah
Tanpa terasa, dalam hitungan hari, kini kita akan kembali memasuki bulan Ramadhan, bulan Allah yang penuh berkah dan kerahmatan. Di bulan Ramadhan inilah waktu yang paling mendukung bagi seluruh umat Islam untuk meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah. Bulan Ramadahan adalah bulan yang paling Indah bagi seluruh umat Muslim untuk berpacu dalam kekhusyukan demi menggapai ridho dan ampunan Allah SWT.

Di bulan Ramadhan inilah, umat Islam diundang menjadi tamu Allah dan dimuliakan dengan berbagai kemurahan Allah SWT. Di bulan ini nafas-nafas hamba menjadi tasbih mereka, tidur para hamba Allah pun menjadi ibadah. Berbagai amal kebajikan dilipatgandakan pahalanya. Sedangkan doa-doa lebih diijabahi. Karenanya, marilah kita memohon kepada Allah dengan niat yang tulus dan hati yang suci agar Allah membimbing kita dalam menjalani kewajiban ibadah dan sunnah-sunnahnya.

Sidang Jum’ah yang Dimuliakan Allah
Semasa hidupnya, Rasulullah SAW selalu memberikan beberapa nasehat dan pesan-pesan, ketika umat Islam sedang menyambut kedatangan bulan teragung ini. Imam Ibnu Huzaimah meriwayatkan hadits yang panjang yang berisi pesan-pesan Rasulullah ini.

“Wahai manusia! Sungguh telah datang pada kalian bulan Allah dengan membawa berkah rahmat dan maghfirah. Bulan yang paling mulia disisi Allah. Hari-harinya adalah hari-hari yang paling utama. Malam-malamnya adalah malam-malam yang paling utama. Jam demi jamnya adalah jam-jam yang paling utama.”

Maka celakalah mereka yang tidak mendapat ampunan Allah di bulan yang agung ini.

Di bulan Ramadhan ini, Rasulullah SAW juga berpesan kepada umatnya agar memuliakan orang tuanya, menyayangi mereka yang muda, menyambungkan tali persaudaraan (silaturrahim), menjaga lidah, menahan pandangan dan pendengaran dari yang tidak halal.

Masih dari hadits Imam Ibnu Huzaimah, Rasulullah SAW bersabda, ”Kasihilah anak-anak yatim, bertaubatlah kepada Allah dari dosa-dosamu dan angkatlah tanganmu untuk berdoa pada waktu shalatmu, maka Allah pasti menjawab dan mengabulkan doa-doamu serta menyambutmu ketika engkau memanggil-Nya.

Hadirin Sidang Jum’ah yang Berbahagia
Tentang bulan Ramadhan ini, Allah SWT berfirman :

يَا أيُّهَا اَّلذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلىَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan bagimu berpuasa, sebagaimana diwajibkan bagi umat-umat sebelum kamu agar engkau bertaqwa.” (QS. Al-Baqoroh, 2:183)

Maka marilah kita semua patuhi perintah Allah ini, sebagai kecintaan terhadap Allah SWT dengan penuh keikhlasan. Dengan penuh kesadaran untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam puasa yang bukan sekedar menahan lapar dan haus.

Namun, marilah kita wujudkan kegembiraan pada kedatangan bulan Ramadhan ini dengan menahan diri dari berbuat kesia-siaan, dan perdebatan-perdebatan yang bukan pada tempatnya. Menghindari kebohongan-kebohongan atau membuat tuduhan-tuduhan tanpa dasar, apalagi gosip-gosip murahan.

Menghentikan kenikmatan-kenikmatan pandangan dan pendengaran yang bukan pada tempatnya. Menjaga lidah dan telinga dari segala keharaman. Menjaga kedua tangannya dari amarah dan menyakiti orang lain, menjaga kedua kakinya untuk tidak mendatangi tempat-tempat kemaksiatan. Serta menjaga hatinya dari kebencian dan kedengkian. Karena hakikat dari puasa adalah ketakwaan kepada Allah secara paripurna.

قَالَ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : إذَا صُمْتَ فَلْيَصُمْ سَمْعَكَ وَبَصَرَكَ وَلِسَانَكَ عَنِ اْلكَذِبِ وَاْلمَحَارِمِ وَدَعْ أذىَ اْلجَارِ وَلْيَكُنْ عَلَيْكَ سَكِيْنَةٌ وَوِقَارٌ وَلاَ تَجْعَلْ يَوْمَ صَوْمِكَ وَيَوْمَ فَطْرِْكََ سَوَاءٌ
Sahabat Jabir RA berpesan: Jika kamu berpuasa, maka puasakanlah pendengaran, penglihatan, dan lidahmu dari kebohongan. Tinggalkanlah menyakiti tetangga, buatlah mereka tenang dan tenteram. Dan janganlah engkau menjadikan hari-harimu sama, antara ketika berpuasa maupun tidak.

Pernyataan sahabat Jabir ini merupakan penjelas dari sabda Rasulullah SAW:

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إلاَّ اْلجُوْعُ وَاْلعَطَسُ
“Banyak sekali orang-orang yang berpuasa, namun mereka tidak mendapatkan apa pun selain daripada lapar dan haus saja.”

Hadaratal Muhtaromin Rahimakumullah
Dalam khutbah yang panjang Rasululah SAW berpesan kepada umatnya tentang keutamaan bulan Ramadhan :

“Wahai manusia! Siapa yang membaguskan akhlaknya di bulan ini ia akan berhasil melewati sirothol mustaqim pada hari ketika kaki-kaki tergelincir. Siapa yang meringankan pekerjaan orang-orang yang dimiliki tangan kanannya (pegawai atau pembantu) di bulan ini, Allah akan meringankan pemeriksaan-Nya di hari kiamat. Barangsiapa menahan kejelekannya di bulan ini, Allah akan menahan murka-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa memuliakan anak yatim di bulan ini, Allah akan memuliakanya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa menyambungkan tali persaudaraan (silaturahmi) di bulan ini, Allah akan menghubungkan dia dengan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa memutuskan kekeluargaan di bulan ini, Allah akan memutuskan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya.”

Khutbah Rasulullah SAW ini menegaskan kepada kita bahwa, Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan kebersamaan, bulan yang penuh dengan keharmonisan rumah tangga, kehangatan kekerabatan dan kekuatan persaudaraan dan ketentraman masyarakat. Adalah salah jika Ramadhan justru digunakan sebagai kesempatan untuk bemegah-megahan dan saling menyombongkan diri masing-masing dihadapan orang lain.

Imam Syafi’i Rahimahullah, menghatam al-Qur’an sebanyak 60 (enam puluh) kali tiap-tiap bulan Ramadhan.

Dulu bahkan Pangeran Diponegoro pun, menghentikan konfrontasi untuk sementara dengan bangsa penjajah Belanda ketika bulan Ramadhan tiba. Pangeran Diponegoro mengirim surat kepada musuh-musuhnya, menawarkan gencatan senjata selama bulan Ramadhan. Pangeran Diponegoro yang sedemikian membenci penjajahan dan sangat gigih berjuang untuk membebaskan bangsanya dari ketertindasan, rela menyarungkan kerisnya selama bulan Ramadhan. Pasukannya pun mengistirahatkan senapan dan meriam, tanpa meletuskan satu peluru pun selama Ramadhan, demi menjaga ketentraman masyarakat dan kekhusyukan ibadah seluruh umat dan rakyatnya.

Karenanya, sebagai warga masyarakat yang baik dan sebagai warga negara yang patuh pada hukum pemerintahan, marilah kita bersama-sama dengan aparatur negara, saling bahu membahu untuk menciptakan suasana Ramadhan yang teduh dan penuh kedamaian. Sehingga Islam yang kita anut benar-benar dapat mewujud sebagai rahmatan lil’alamin (rahmat bagi seluruh semesta).

Agar Ramadhan bukan justru menjadi alat dan kesempatan bagi orang lain untuk mengkritik dan menghujat orang Islam. Alangkah berbahagianya jika Ramadhan dapat mendekatkan pribadi-pribadi hamba yang shaleh kepada Tuhannya, dan menumbuhkan rasa saling cinta dan menghargai di antara para anggota masyarakat dan bangsa.

Maka marilah kita berdoa, semoga Allah membukakan pintu-pintu surga bagi kita, menutup pintu-pintu neraka bagi kita dan membelenggu setan-setan agar ia tak lagi pernah menguasai nafsu kita. Semoga Allah  memberikan kesabaran kepada kita, karena Ramadhan adalah bulan kesabaran sabar, sedangkan pahala kesabaran adalah surga.

بَارَكَ اللهُ لِى وَلَكُمْ فِى الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِى وَاِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنَ الايَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ  وَتقَبَّلَ مِنِّى وَاِيَّاكُمْ تِلاَوَتَهُ اِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْم اَقُوْلُ قَوْلِى هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْم لِى وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ اِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

*** *** ***


Khutbah Kedua

أَلْحَمْدُ ِللهِ اَّلذِيْ  أَرْحَمَنَا بِرَمَضَانَ الَّذِيْ أُنْزِلَ فِيْهِ اْلقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ اْلهُدَى وَاْلفُرْقَانِ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ نَبِيِّهِ الَّذِيْ أُرْسِلَ إلَيْنَا بِأَخْلاَقِهِ الإحْسَانِ وَعَلىَ ألِهِ وَأصْحَابِهِ ذِي الكَرَامَةِ وَالأمَانِ ، أشْهَدُ أنْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأشْهَدُ أنَّ نَبِيِّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ خَطَبَ إلْينَا بِاسْتِقْبَالِ رَمَضَانَ بِتَهَيَّئَةِ اْلقُلًوْبِ وَتَصْفِيَةِ النُّفُوْسِ وَتَطْهِيْرِ اْلأمْوَالِ وَاجْتِنَابِ اْلغِيْبَةِ وَالنَّمِيْمَةِ وَالتَّيْهَانِ

فَيَا أيُّهَا المُؤْمِنُوْنَ اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقًاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إلاَّ وَأنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ ، وَاعْلَمُوْا أنَّ الشَّهْرَ سَيِّدُ الشُّهُوْرِ وَأفْضَلَهَا عَلىَ الدَّوَامِ، إنَّهُ شَهْرُ اْلقُرْآنِ وَالصِّيَامِ وَاْلقِيَامِ، شَهْرٌ جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةً، وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا وَفَضِيْلَةً ، شَهْرٌ تُفْتَحُ فِيْهِ أبْوَابُ اْلجِنَانِ ، وتُغْلَقُ فِيْهِ أبْوَابُ النِّيَرانِ ، وتُصَفَّدُ فِيْهِ الشَّيَاطِيْنُ وَمَرَدَّةُ الجَانِّ .

وَهَذَا شَهْرُ اْلمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ وَاْلعِتْقِ مِنَ النَّارِ، شَهْرُ الصَّبْرِ وَاْلمُوَاسَاةِ ، شَهْرُ التَّكَافُلِ وَالتَّرَاحُمِ، شَهْرُ التَّنَاصُرِ وَالتَّعَاوُنِ وَاْلمُسَاوَاةِ ، شَهْرُ اْلفُتُوْحَاتِ وَالإنْتِصَارَاتِ ، شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيْهِ الدَّرَجَاتِ ، وتُضَاعَفُ فِيْهِ اْلحَسَنَاتِ ، وتُكَفِّرُ فِيْهِ السَّيِّئَاتِ ، شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ وَاحِدَةٌ هِيَ خَيْرٌ مِنْ ألْفِ شَهْرٍ ، مَنْ حُرِّمَ خَيْرَهَا فَهُوَ اْلمَحْرُوْمُ.

فَهُنَيِّئاً لَكُمْ أيُّهَا المُسْلِمُوْنَ بِرَمَضَانَ ، وَالسَّعْدَ كُلَّ السَّعْدِ لَكُمْ بِشَهْرِ الصِّيَامِ وَاْلقِيَامِ، وَيَا بُشْرَى لِمَنْ تَعَرَّضَ فِيْهِ لِنَفَحَاتِ اللهِ ، وَجَاهَدَ نَفْسَهُ فِيْ طَاعَةِ اللهِ ، وَلَقَدْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ –صلى الله عليه وسلم– يُبَشِّرُ  أصْحَابَهُ بِقُدُوْمِ هَذَا الشَّهْرِ اْْلمُبَارَكِ ، وَيُبَيِّنُ لَهُمْ فَضَائِلَهُ، حَتىَّ يَتَهَيَّؤُوْا لَهُ وَيَغْتَنِمُوْهُ

وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ وَمَلاَئَكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ أَجْمَعِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

* Ust. Syaifullah Amin
Pondok pesantren Al-Hikmah Kepala Gading Jakarta Utara

BEASISWA SANTRI 2010 KEMENTERIAN AGAMA RI

DEPARTEMEN AGAMA R.I.
DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN ISLAM
Jl. Lapangan Banteng Barat No. 3-4,
Telepon : 3811642, 3811654, 3812216, 3812679, 3811214
J A K A R T A
============================================================

PENGUMUMAN
PENERIMAAN PESERTA PROGRAM BEASISWA SANTRI BERPRESTASI (PBSB)
KEMENTERIAN AGAMA RI TAHUN 2010

Kebijakan pembangunan pendidikan mencakup tiga aspek yaitu: perluasan akses, peningkatan mutu, dan tata kelola. Perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan Islam mengisyaratkan keseriusan Kementerian Agama RI dalam meningkatkan angka partisipasi masyarakat di dunia pendidikan. Dalam rangka meningkatkan akses pendidikan tinggi bagi santri berprestasi dan meningkatkan kualitas pendidikan Islam, Kementerian Agama RI. bermaksud menjaring santri terbaik di kelas III pada Madrasah Aliyah (MA) atau yang sederajat di pondok pesantren untuk mengikuti program pendidikan tinggi melalui Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB).

PERSYARATAN SELEKSI
a. Tercatat sebagai siswa/i kelas III Madrasah Aliyah (MA) atau yang sederajat
di pondok pesantren.
b. Berstatus sebagai santri aktif yang bermukim dan belajar/nyantri di pondok pesantren
sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun.
c. Sehat jasmani dan rohani.
d. Pada saat mendaftar berumur tidak lebih dari 20 tahun, terhitung tanggal
13 Maret 2010.
e.. Memiliki prestasi yang baik selama pendidikan 5 semester berturut-turut dengan
nilai minimal 70 (skala 100) untuk tiap mata pelajaran:

Program IPA : Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, dan Bahasa Inggris.
Program IPS : Ekonomi, Geografi, Sosiologi, Bahasa Indonesia dan
Bahasa Inggris.
Program Bahasa : Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Antropologi,
Sastra Indonesia dan Bahasa Asing lain.
Program Keagamaan : Bahasa Arab, Ilmu Hadist, Ilmu Tafsir, Fiqih, Bahasa Inggris.

f. Diajukan oleh Pimpinan Pondok Pesantren santri yang bersangkutan.

WAKTU DAN TEMPAT PENDAFTARAN
Pendaftaran dimulai pada tanggal 5 Februari s/d 5 Maret 2010 di Kantor Wilayah Kementerian Agama masing-masing.

MATERI TEST/SELEKSI
1. Test Bakat Skolastik (TBS)
2. Test Kemampuan Akademik
3. Test Kemampuan Bahasa Inggris
4. Test Kepesantrenan
5. Test Bahasa Arab

WAKTU DAN TEMPAT SELEKSI
Seleksi dilaksanakan pada tanggal 13 Maret 2010 di 29 Kantor Wilayah Kementerian Agama RI.

PEMBIAYAAN
Kementerian Agama RI akan menanggung komponen pembiayaan sebagai berikut:
1. Biaya seleksi.
2. Biaya pendidikan pre-university (matrikulasi/orientasi/bridging program).
3. Biaya pendidikan (SPP dan Sumbangan Dana Pengembangan Akademik (SDPA).
4. Bantuan Biaya hidup (living cost).

PERGURUAN TINGGI MITRA
Peserta yang lulus seleksi akan studi pada perguruan tinggi mitra: Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya, Institut Teknologi 10 November (ITS) Surabaya, Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Mataram, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, IAIN Sunan Ampel Surabaya, dan IAIN Walisongo Semarang.

Informasi lebih lanjut dapat menghubungi Panitia Seleksi Peserta PBSB Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI. dengan nomor telepon 021-3811810 atau melalui website http://www.pondokpesantren.net.

Jakarta, 3 Februari 2009

Direktur Jenderal Pedidikan Islam

ttd

Prof. Dr. H. Mohammad Ali, MA

NB. Silahkan download

* PENGUMUMAN SELEKSI PBSB 2010.pdf
* PANDUAN SELEKSI PBSB 2010.pdf
* FORMULIR PBSB 2010.pdf

Permalink

BEASISWA S2 2010/2011 KEMENTERIAN AGAMA RI

Nomor : DT.I.II/PP.04/429/2010DT.I.II/PP.00/263/2009 Jakarta, 25 Pebruari 2010

Lampiran : 1 (satu) berkas

Perihal : Penting

Perihal : Pemberian Beasiswa S2 bagi Guru PAI dan Pengawas PAI

Kepada Yth.:

Kepala Bidang Mapenda/TOS pada Kanwil

Kementerian Agama Propinsi

se-Indonesia

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dengan hormat, dalam rangka pembentukan sekolah unggulan/model PAI pada jenjang SD dan SMP,

Direktorat Jenderal Pendidikan Islam melalui Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah pada

Tahun Anggaran 2010 akan memberikan Beasiswa Kualifikasi Guru Program S2 PAI pada Sekolah dan

Beasiswa Kualifikasi Pengawas Program S2 PAI pada Sekolah.

Untuk itu, kami mengharapkan bantuan Saudara menginformasikan kepada GPAI dan pengawas PAI

pada sekolah di unit kerja Saudara untuk mengikuti program dimaksud selama 2 tahun akademik (4

semester), dengan ketentuan sebagai berikut:

A. Untuk GPAI:

1. Lembaga/Sekolah

a. Memiliki potensi pengembangan PAI unggulan/model pada sekolah yang bersangkutan;

b. Jumlah GPAI minimal 2 (dua) orang;

c. Memiliki sarana/prasarana ibadah yang memadai;

d. Mempunyai pustaka PAI atau Laboratorium PAI;

e. Memiliki program Ekstra Kurikuler PAI.

2. Guru PAI

a. Bertugas sebagai Guru Pendidikan Agama Islam pada jenjang SD/SMP;

b. Mendapat izin dari pimpinan/atasan langsung;

c. Mendapat rekomendasi dari Kandepag/Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota;

d. Berusia maksimal 48 tahun;

e. Siap mengikuti program S2 secara penuh;

f. Mengisi form aplikasi;

g. Bersedia dibebastugaskan sementara sesuai dengan ketentuan kepegawaian yang berlaku;

h. Lulus tes rekruitmen penerimaan beasiswa S2 GPAI;

i. Melampirkan bukti-bukti dokumen pendukung fortofolio seperti: Daftar Riwayat Hidup, SK

pengangkatan sebagai GPAI, karya tulis ilmiah tentang pendidikan dan prestasi lainya;

j. Melampirkan proposal penelitian tentang pengembangan PAI di sekolah;

k. Pendaftaran/berkas dikirim langsung ke Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah

Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama, Jl. Lapangan Banteng Barat No. 3-4 Jakarta

(kamar A705), paling lambat tanggal 15 April 2010.

l. Kuota setiap propinsi akan ditentukan secara proporsional.

B. Untuk Pengawas PAI:

1. Memiliki SK sebagai pengawas PAI di sekolah jenjang SD/SMP;

2. Berusia maksimal 48 tahun;

3. Siap mengikuti program S2 secara penuh;

4. Mengisi form aplikasi;

5. Bersedia dibebastugaskan sementara sesuai dengan ketentuan kepegawaian yang berlaku

6. Lulus tes rekruitmen penerimaan beasiswa S2 Pengawas PAI;

KEMENTERIAN AGAMA RI

DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN ISLAM

DIREKTORAT PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA SEKOLAH

Jl. Lapangan Banteng Barat No. 3-4 Telp./Fax 021-3811772

J A K A R T A

7. Melampirkan bukti-bukti dokumen pendukung fortofolio seperti: Daftar Riwayat Hidup, SK

pengangkatan sebagai GPAI, karya tulis ilmiah tentang pendidikan dan prestasi lainya;

8. Melampirkan proposal penelitian tentang pengembangan PAI di sekolah

9. Pendaftaran/berkas dikirim langsung ke Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Ditjen

Pendidikan Islam Kementerian Agama, Jl. Lapangan Banteng Barat No. 3-4 Jakarta (kamar A705),

paling lambat tanggal 15 April 2010.

10. Kuota setiap propinsi akan ditentukan secara proporsional.

Demikian, atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

A.n. Direktur Jenderal

Diirektur Pendidikan Agama Islam

Pada Sekolah

Dr. H. Imam Tholkhah, MA

NIP. 195209151981031001

Tembusan Yang Terhormat:

1. Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI di Jakarta;

2. Kepala Kantor Kementerian Agama Kab./Kota seluruh Indonesia;

3. Kepala Dinas Pendidikan Pemda Kab./Kota seluruh Indonesia.

HUMOR ALA GUS DUR

Doa dan Lampirannya
14/02/2010

Alkisah, Ahmad, seorang ketua RT akan menunaikan ibadah haji. Sebagai seorang ketua RT yang berpengaruh, Ahmad didatangi oleh para tetangganya.

“Tolong, nanti kalau di depan Multazam, anak saya si Badu didoakan agar meninggalkan sikap badungnya,” kata Pak Kasimo yang memiliki anak super badung, dan selalu meresahkan kampong.Selengkapnya »

Banser VS Tentara AS
22/01/2010

Saat berada di sebuah kapal pesiar, presiden Indonesia (Gus Dur, pastinya), presiden AS dan perdana menteri Jepang saling memamerkan keberanian tentara masing-masing.

Presiden AS bilang tentaranya bisa mengelilingi kapal 10 kali tanpa berhenti, dan langsung dibuktikan, ternyata benar. Perdana Menteri Jepang malah bilang tentaranya bisa menglilingi kapal selama 25 kali.Selengkapnya »

Kata Gus Dur, Sakit Gigi Lebih Sakit dari Sakit Hati
08/01/2010

Saat Gus Dur sakit gigi, ia masih bisa bergurai. Kepada seorang pengawalnya ia bergumam, ”Ternyata sakit gigi itu lebih sakit dari sakit hati.”

”Lho kog bisa Gus? Bukannya malah terbalik, sakit hati itu lebih sakit rasanya dibanding sakit hati?” kata pengawal Gus Dur, mungkin dia mengingat syair lagu dangdut Meggi Z.Selengkapnya »

Gus Dur Berbagi Amplop
01/01/2010

Usai memberikan ceramah di suatu acara pengajian, Gus Dur dihampiri banyak orang yang ingin bersalaman dengannya. Seperti kiai pada umumnya, masyarakat memberikan amplop berisi uang kepada Gus Dur, atau kita kenal dengan salaman templek, pada saat bersalaman. Ini sebagai satu bentuk penghormatan. Isi amplopnya bisa beragam, sesuai kadar kemampuan ekonomi si pengamplop.

Setelah acara, Gus Dur berkumpul dengan teman-temannya. Amplop yang diterimanya tidak diambil semua untuk pribadinya. Beberapa amplop yang diterima dibagikan kepada tema-temannya yang adalah para kader dan pengawal yang setia mendampingi Gus Dur kemana-mana. Nah, karena Gus Dur baik hati, amplop yang berisi tebal justru dikasihkan kepada teman-temannya itu.Selengkapnya »

Latar Belakang Presiden Gus Dur
27/11/2009

Prof Dr Mahfud MD diminta Presiden Gus Dur untuk menjabat Menteri Pertahanan, tapi ia menolak karena merasa tidak punya latar belakang di bidang itu.

“Saya ini tidak punya latar belakang di bidang pertahanan. Latar belakang saya kan hukum tata negara,” kata Mahfud.

Gus Dur menjawab:Selengkapnya »

Jenderal yang Paling Ditakuti Gus Dur
06/11/2009

Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah seorang tokoh yang sangat pemberani. Gus Dur tidak pernah takut kepada siapa pun, termasuk kepada polisi. Bahkan kepada Jenderal-nya sekalipun. Hal ini pernah dibuktikan dengan permintaan Gus Dur agar Jenderal Surojo Bimantoro (Kapolri) mengundurkan diri.

Namun rupanya, seberani apa pun seorang Gus Dur, tetap saja ada satu Jenderal yang ditakutinya. Ketakutan pada Jenderal ini pernah diungkapkan Gus Dur seusai sebuah konferensi pers. Yakni Gus Dur dipapah memasuki mobil dan para wartawan tidak lagi mengerubutinya.Selengkapnya »

Baju Pramugari
30/10/2009

Para kiai berdebat tentang boleh tidaknya bertayamum dengan kursi-kursi yang ada di pesawat, terutama bagi jamaah haji Indonesia yang berada di pesawat agak lama. Sebagian menyatakan boleh karena dalam udara ini selalu ada debu. Ada juga yang mengutip pendapat imam madzhab bahwa setiap barang yang bisa terbakar pasti memuat unsur debu.

Namun banyak pula yang menolak bertayamum dengan kursi pesawat, karena pesawat tertutup bahkan sering berada di luar angkasa. Lagi pula kursi pesawat selalu dibersihkan rutin, sehingga tidak mungkin ada debu.Selengkapnya »

Da’i Cilik
18/09/2009

Ada seorang dai cilik dengan semangat menyampaikan ceramahnya bahwa “Kita tidak boleh takut pada apapun saja selain Allah SWT, kita tidak boleh takut kepada syetan, jin, dan lain.”

Tiba-tiba mati lampu, dan dai cilik pun ketakutan.Selengkapnya »

Gara-gara Tahlil Kelamaan
31/07/2009

Malam itu, seorang santri bandel duduk di pojok ruangan. Kelihatannya ia tidak nyaman. Posisi duduknya berubah berkali kali. Kadang ia bersila, kadang seperti orang sedang duduk tahiyat akhir, kadang kedua tangannya merangkul lutut lalu janggutnya ditempelkan di atas lutut itu. Kadang kepalannya bersandar di tembok sambil mendongak ke atas.

Saat itu sedang diadakan tahlilan untuk salah seorang keluarga santri yang pagi tadi meninggal dunia. Bacaan tahlil kali ini terasa terlalu lama sekali…. Kemudian, usai tahlilan, kiai yang memimpin tahlil memanggil santri itu. Sementara yang lainnya disuruh ke kamar masing-masing. Rupanya kiai tahu gelagat santri itu.Selengkapnya »

Gus Gur Ingin Nikahi Perempuan Satu Bis?
05/06/2009

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) diprotes oleh seorang penceramah di televisi gara-gara ada rombongan ibu-ibu pengajian satu bis yang mencium tangan Gus Dur saat sowan atau bersilaturrahim ke kediamannya di Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan.

”Itu ada ulama tapi koq bersalaman dengan perempuan, kan bukan muhrim,” kata penceramah itu. ”Mestinya dia memberikan pelajaran yang baik kepada ummat,” katanya agak kesal.Selengkapnya »

Nyi Roro Kidul Pakai Jilbab
29/05/2009

Gus Dur ditanya serius tentang penyebab terjadinya gempa dan tsunami di Yogyakarta. Nah karena Gus Dur bukan ahli geologi maka dia menjawab sekenanya saja.

“Itu karena Nyi Roro Kidul marah karena dipaksa pakai jilbab,” kata Gus Dur. Ceritanya, Gus Dur sedang menyindir kelompok umat Islam di Indonesia yang memaksakan peraturan daerah (Perda) syariat Islam.Selengkapnya »

Amplop Kiai
08/05/2009

Suatu hari saat pulang mengisi acara pengajian umum, pengasuh pesantren Roudlotul Muta’allimin Kudus, KH Ma’ruf Irsyad dikuntit seseorang bersepeda motor yang melaju kencang. Ketika sampai di gang menuju rumahnya, Kiai Ma’ruf dihentikan orang tersebut yang diketahui sebagai salah seorang panitia panitia pengajian.

“Ada apa mas kok tergesa-gesa begitu,” tanya Kiai Ma’ruf.Selengkapnya »

Mengukur Tinggi Tiang Bendera
24/04/2009

Saat Presiden Habibi datang ke salah satu daerah ia menyempatkan meninjau lapangan upacara, untuk memantau langsung persiapan upacara hari besar Islam keesokan harinya.

Habibi meminta salah seorang pejabat Departemen Agama setempat untuk mengukur tinggi tiang bendera. “Pak, itu coba diukur tinggi tiang itu berapa meter ya…!”Selengkapnya »

Doa Kalah Pemilu
17/04/2009

Seorang tokoh partai Islam dikritik habis-habisan karena perolehan suara partainya pada pemilu kali ini menurun drastis.

Maka di depan rapat umum dia berdoa, ” Tuhan kumpulkanlah kami dalam golongan yang sedikit… Golongan yang terpilih…” (anam)Selengkapnya »

Sekalinya Gus Dur Kalah
20/03/2009

Konon Gus Dur sempat memimpin perusahaan penerbangan Abdurrahman Wahid Air atau AW Air. Waktu itu Gus Dur melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke kantornya, melihat para pegawainya bekerja.

Gus Dur sempat kaget melihat seorang yang duduk-duduk santai. Tidak bekerja. Padahal ini masih jam kerja.Selengkapnya »

Tanda Kiamat
16/01/2009

“Wah sekarang ini kiamat sudah dekat, tanda-tandanya sudah nyata,” guman seorang pemuda pada temannya.

Dengan heran temannya menjawab: “He… siang hari begini kau kok mengigau, dan kenapa pesimis amat, papa lu mulai percaya ramalah ahli nujum dari Meksiko itu?”Selengkapnya »

Gus Dur dan Sepatu Bush
09/01/2009

Terjadilah insiden pelemparan sepatu oleh wartawan stasiun TV di Irak ke arah presiden Amerika Serikat George W. Bush. Dunia jadi geger. Semua media menyajikannya sebagai berita utama. Tokoh-tokoh dunia berkomentar.

Mayoritas memberikan dukungan kepada sang wartawan. “Lemparan penghinaan itu adalah tanggapan balik terhadap invasi Amerika ke Irak.” Dunia Arab kontan memberinya gelar pahlawan, meski belakangan wartawan ini babak belur.Selengkapnya »

Ijazah ‘Palsu tapi Asli’
02/01/2009

Pada zaman reformasi ini banyak kesempatan untuk menjadi pejabat, sehingga kadang-kadang para calon pejabat kurang persiapan. Termasuk menyiapkan ijazah yang asli.

Di salah satu kabupaten di Jawa, saat menjabat, seorang bupati kedapatan berijazah palsu. Ia pun disidang di pengadilan.Selengkapnya »

Membangun SDM dan SDNU
26/12/2008

Menristek Habibi merupakan menteri yang paling gigih mengembangkan sumberdaya manusia (SDM) sehingga kemanapun ia selalu mengingatkan semua kalangan akan pentingnya pengembangan SDM itu untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju terutama bidang teknologinya.

Ketika berkunjung ke sebuah pesantren di Jawa Timur, Habibi kembali mengingatkan pentingnya pengembangan SDM, dan istilah itu disebut berkali-kali tanpa memberitahu apa pengertian SDM itu.Selengkapnya »

HP Terbalik
19/12/2008

Seorang kiai mendapat hadiah HP baru yang berukuran agak besar, lebih besar dari HP sebelumnya. HP itu diperoleh dari salah seorang santri yang sudah sukses. Mereknya Nokia, tipe 9210.

Suatu saat, dalam satu pertemuan dengan tokoh politik lokal tiba-tiba HP di saku baju takwa berbunyi dan langsung diangkat sendiri oleh kiai.Selengkapnya »

MEROKOK, HARAM?

Bahtsul Masail tentang Hukum Merokok
19/01/2009

Sejak awal abad XI Hijriyah atau sekitar empat ratus tahun yang lalu, rokok dikenal dan membudaya di berbagai belahan dunia Islam. Sejak itulah sampai sekarang hukum rokok gencar dibahas oleh para ulama di berbagai negeri, baik secara kolektif maupun pribadi. Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai hukum rokok tidak dapat dihindari dan berakhir kontroversi. Itulah keragaman pendapat yang merupakan fatwa-fatwa yang selama ini telah banyak terbukukan. Sebagian di antara mereka menfatwakan mubah alias boleh, sebagian berfatwa makruh, sedangkan sebagian lainnya lebih cenderung menfatwakan haram.

Kali ini dan di negeri ini yang masih dilanda krisis ekonomi, pembicaraan hukum rokok mencuat dan menghangat kembali. Pendapat yang bermunculan selama ini tidak jauh berbeda dengan apa yang telah terjadi, yakni tetap menjadi kontroversi.

Kontroversi Hukum Merokok

Seandainya muncul fatwa, bahwa korupsi itu hukumnya haram berat karena termasuk tindak sariqah (pencurian), maka semua orang akan sependapat termasuk koruptor itu sendiri. Akan tetapi persoalannya akan lain ketika merokok itu dihukumi haram. Akan muncul pro dari pihak tertentu dan muncul pula kontra serta penolakan dari pihak-pihak yang tidak sepaham. Dalam tinjauan fiqh terdapat beberapa kemungkinan pendapat dengan berbagai argumen yang bertolak belakang.

Pada dasarnya terdapat nash bersifat umum yang menjadi patokan hukum, yakni larangan melakukan segala sesuatu yang dapat membawa kerusakan, kemudaratan atau kemafsadatan sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai berikut:

Al-Qur’an :

وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ. البقرة: 195


Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 195)

As-Sunnah :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ. رواه ابن ماجه, الرقم: 2331
Dari Ibnu ‘Abbas ra, ia berkata ; Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri sendiri), dan tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri orang lain). (HR. Ibnu Majah, No.2331)

Bertolak dari dua nash di atas, ulama’ sepakat mengenai segala sesuatu yang membawa mudarat adalah haram. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah merokok itu membawa mudarat ataukah tidak, dan terdapat pula manfaat ataukah tidak. Dalam hal ini tercetus persepsi yang berbeda dalam meneliti dan mencermati substansi rokok dari aspek kemaslahatan dan kemafsadatan. Perbedaan persepsi ini merupakan babak baru munculnya beberapa pendapat mengenai hukum merokok dengan berbagai argumennya.

Seandainya semua sepakat, bahwa merokok tidak membawa mudarat atau membawa mudarat tetapi relatif kecil, maka semua akan sepakat dengan hukum mubah atau makruh. Demikian pula seandainya semuanya sepakat, bahwa merokok membawa mudarat besar, maka akan sepakat pula dengan hukum haram.

Beberapa pendapat itu serta argumennya dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam hukum.

Pertama ; hukum merokok adalah mubah atau boleh karena rokok dipandang tidak membawa mudarat. Secara tegas dapat dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan.

Kedua ; hukum merokok adalah makruh karena rokok membawa mudarat relatif kecil yang tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram.

Ketiga; hukum merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudarat. Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian medis, bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama membiasakannya.

Tiga pendapat di atas dapat berlaku secara general, dalam arti mubah, makruh dan haram itu bagi siapa pun orangnya. Namun bisa jadi tiga macam hukum tersebut berlaku secara personal, dengan pengertian setiap person akan terkena hukum yang berbeda sesuai dengan apa yang diakibatkannya, baik terkait kondisi personnya atau kwantitas yang dikonsumsinya. Tiga tingkatan hukum merokok tersebut, baik bersifat general maupun personal terangkum dalam paparan panjang ‘Abdur Rahman ibn Muhammad ibn Husain ibn ‘Umar Ba’alawiy di dalam Bughyatul Mustarsyidin (hal.260) yang sepotong teksnya sebagai berikut:

لم يرد في التنباك حديث عنه ولا أثر عن أحد من السلف، ……. والذي يظهر أنه إن عرض له ما يحرمه بالنسبة لمن يضره في عقله أو بدنه فحرام، كما يحرم العسل على المحرور والطين لمن يضره، وقد يعرض له ما يبيحه بل يصيره مسنوناً، كما إذا استعمل للتداوي بقول ثقة أو تجربة نفسه بأنه دواء للعلة التي شرب لها، كالتداوي بالنجاسة غير صرف الخمر، وحيث خلا عن تلك العوارض فهو مكروه، إذ الخلاف القوي في الحرمة يفيد الكراهة
Tidak ada hadits mengenai tembakau dan tidak ada atsar (ucapan dan tindakan) dari seorang pun di antara para shahabat Nabi SAW. … Jelasnya, jika terdapat unsur-unsur yang membawa mudarat bagi seseorang pada akal atau badannya, maka hukumnya adalah haram sebagaimana madu itu haram bagi orang yang sedang sakit demam, dan lumpur itu haram bila membawa mudarat bagi seseorang. Namun kadangkala terdapat unsur-unsur yang mubah tetapi berubah menjadi sunnah sebagaimana bila sesuatu yang mubah itu dimaksudkan untuk pengobatan berdasarkan keterangan terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa sesuatu itu dapat menjadi obat untuk penyakit yang diderita sebagaimana berobat dengan benda najis selain khamr. Sekiranya terbebas dari unsur-unsur haram dan mubah, maka hukumnya makruh karena bila terdapat unsur-unsur yang bertolak belakang dengan unsur-unsur haram itu dapat difahami makruh hukumnya.

Senada dengan sepotong paparan di atas, apa yang telah diuraikan oleh Mahmud Syaltut di dalam Al-Fatawa (hal.383-384) dengan sepenggal teks sebagai berikut:

إن التبغ ….. فحكم بعضهم بحله نظرا إلى أنه ليس مسكرا ولا من شأنه أن يسكر ونظرا إلى أنه ليس ضارا لكل من يتناوله, والأصل في مثله أن يكون حلالا ولكن تطرأ فيه الحرمة بالنسبة فقط لمن يضره ويتأثر به. …. وحكم بعض أخر بحرمته أوكراهته نظرا إلى ما عرف عنه من أنه يحدث ضعفا فى صحة شاربه يفقده شهوة الطعام ويعرض أجهزته الحيوية أو أكثرها للخلل والإضطراب.
Tentang tembakau … sebagian ulama menghukumi halal karena memandang bahwasanya tembakau tidaklah memabukkan, dan hakikatnya bukanlah benda yang memabukkan, disamping itu juga tidak membawa mudarat bagi setiap orang yang mengkonsumsi. …Pada dasarnya semisal tembakau adalah halal, tetapi bisa jadi haram bagi orang yang memungkinkan terkena mudarat dan dampak negatifnya. Sedangkan sebagian ulama’ lainnya menghukumi haram atau makruh karena memandang tembakau dapat mengurangi kesehatan, nafsu makan, dan menyebabkan organ-organ penting terjadi infeksi serta kurang stabil.

Demikian pula apa yang telah dijelaskan oleh Prof Dr Wahbah Az-Zuhailiy di dalam Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh (Cet. III, Jilid 6, hal. 166-167) dengan sepotong teks, sebagai berikut:

القهوة والدخان: سئل صاحب العباب الشافعي عن القهوة، فأجاب: للوسائل حكم المقاصد فإن قصدت للإعانة على قربة كانت قربة أو مباح فمباحة أو مكروه فمكروهة أو حرام فمحرمة وأيده بعض الحنابلة على هذا التفضيل. وقال الشيخ مرعي بن يوسف الحنبلي صاحب غاية المنتهى: ويتجه حل شرب الدخان والقهوة والأولى لكل ذي مروءة تركهما


Masalah kopi dan rokok; penyusun kitab Al-‘Ubab dari madzhab Asy-Syafi’i ditanya mengenai kopi, lalu ia menjawab: (Kopi itu sarana) hukum, setiap sarana itu sesuai dengan tujuannnya. Jika sarana itu dimaksudkan untuk ibadah maka menjadi ibadah, untuk yang mubah maka menjadi mubah, untuk yang makruh maka menjadi makruh, atau haram maka menjadi haram. Hal ini dikuatkan oleh sebagian ulama’ dari madzhab Hanbaliy terkait penetapan tingkatan hukum ini. Syaikh Mar’i ibn Yusuf dari madzhab Hanbaliy, penyusun kitab Ghayah al-Muntaha mengatakan : Jawaban tersebut mengarah pada rokok dan kopi itu hukumnya mubah, tetapi bagi orang yang santun lebih utama meninggalkan keduanya.

Ulasan ‘Illah (reason of law)

Sangat menarik bila tiga tingkatan hukum merokok sebagaimana di atas ditelusuri lebih cermat. Kiranya ada benang ruwet dan rumit yang dapat diurai dalam perbedaan pendapat yang terasa semakin sengit mengenai hukum merokok. Benang ruwet dan rumit itu adalah beberapa pandangan kontradiktif dalam menetapkan ‘illah atau alasan hukum yang di antaranya akan diulas dalam beberapa bagian.

Pertama; sebagian besar ulama’ terdahulu berpandangan, bahwa merokok itu mubah atau makruh. Mereka pada masa itu lebih bertendensi pada bukti, bahwa merokok tidak membawa mudarat, atau membawa mudarat tetapi relatif kecil. Barangkali dalam gambaran kita sekarang, bahwa kemudaratan merokok dapat pula dinyaakan tidak lebih besar dari kemudaratan durian yang jelas berkadar kolesterol tinggi. Betapa tidak, sepuluh tahun lebih seseorang merokok dalam setiap hari merokok belum tentu menderita penyakit akibat merokok. Sedangkan selama tiga bulan saja seseorang dalam setiap hari makan durian, kemungkinan besar dia akan terjangkit penyakit berat.

Kedua; berbeda dengan pandangan sebagian besar ulama’ terdahulu, pandangan sebagian ulama sekarang yang cenderung mengharamkan merokok karena lebih bertendensi pada informasi (bukan bukti) mengenai hasil penelitian medis yang sangat detail dalam menemukan sekecil apa pun kemudaratan yang kemudian terkesan menjadi lebih besar. Apabila karakter penelitian medis semacam ini kurang dicermati, kemudaratan merokok akan cenderung dipahami jauh lebih besar dari apa yang sebenarnya. Selanjutnya, kemudaratan yang sebenarnya kecil dan terkesan jauh lebih besar itu (hanya dalam bayangan) dijadikan dasar untuk menetapkan hukum haram. Padahal, kemudaratan yang relatif kecil itu seharusnya dijadikan dasar untuk menetapkan hukum makruh.

Hal seperti ini kemungkinan dapat terjadi khususnya dalam membahas dan menetapkan hukum merokok. Tidakkah banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi. Mungkinkah setiap makanan dan minuman yang dinyatakan tidak steril itu kemudian dihukumi haram, ataukah harus dicermati seberapa besar kemudaratannya, kemudian ditentukan mubah, makruh ataukah haram hukumnya.

Ketiga; hukum merokok itu bisa jadi bersifat relatif dan seimbang dengan apa yang diakibatkannya mengingat hukum itu berporos pada ‘illah yang mendasarinya. Dengan demikian, pada satu sisi dapat dipahami bahwa merokok itu haram bagi orang tertentu yang dimungkinkan dapat terkena mudaratnya. Akan tetapi merokok itu mubah atau makruh bagi orang tertentu yang tidak terkena mudaratnya atau terkena mudaratnya tetapi kadarnya kecil.

Keempat; kalaulah merokok itu membawa mudarat relatif kecil dengan hukum makruh, kemudian di balik kemudaratan itu terdapat kemaslahatan yang lebih besar, maka hukum makruh itu dapat berubah menjadi mubah. Adapun bentuk kemaslahatan itu seperti membangkitkan semangat berpikir dan bekerja sebagaimana biasa dirasakan oleh para perokok. Hal ini selama tidak berlebihan yang dapat membawa mudarat cukup besar. Apa pun yang dikonsumsi secara berlebihan dan jika membawa mudarat cukup besar, maka haram hukumnya. Berbeda dengan benda yang secara jelas memabukkan, hukumnya tetap haram meskipun terdapat manfaat apa pun bentuknya karena kemudaratannya tentu lebih besar dari manfaatnya.

KH Arwani Faishal
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU

PERNIKAHAN DINI DALAM ISLAM

Masalah Pernikahan Dini
10/11/2008

Pernikahan dini atau pernikahan di bawah usia ramai diperbincangkan oleh banyak kalangan di negeri ini menyusul berita pernikahan Pujiono Cahyo Widianto alias Syeh Puji, seorang saudagar kaya di Semarang yang berusia 43 tahun, yang menikahi seorang anak gadis berusia 12 tahun. Pernikahan Syeh puji diberitakan besar-besaran di media massa setelah digugat oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas Perempuan.

Sebenarnya, dalam fikih atau hukum Islam tidak ada batasan minimal usia pernikahan. Jumhur atau mayoritas ulama mengatakan bahwa wali atau orang tua boleh menikahkan anak perempuannya dalam usia berapapun. Jadi pernikahan Syeh Puji syah secara fikih.

Dasar dari itu semua adalah pernikahan Nabi Muhammad SAW dan Siti Aisyah. Beberapa riwayat menyebutkan, Aisyah dinikahkan dengan Nabi pada usia 6 tahun, dan tinggal bersama Nabi pada usia 9 tahun. Sementara waktu itu Nabi sudah berusia senja, sudah 50-an tahun.

Namun karena pertimbangan maslahat, beberapa ulama memakruhkan praktik pernikahan usia dini. Makruh artinya boleh dilakukan namun lebih baik ditinggalkan. Anak perempuan yang masih kecil belum siap secara fisik maupun psikologis untuk memikul tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga, meskipun dia sudah aqil baligh atau sudah melalui masa haid. Karena itu menikahkan anak perempuan yang masih kecil dinilai tidak maslahat bahkan bisa menimbilkan mafsadah (kerusakan). Pertimbangan maslahat-mafsadah ini juga diterima dalam madzab Syafii.

Mereka yang menikahkan anak perempuan pada usia dini biasanya juga berpedoman pada ketetapan mengenai wali mujbir, yakni wali atau orang tua yang boleh memaksa menikahkan anaknya. Istilah wali mujbir hanya ada pada madzhab Syafi’i (dan sebagian Hambali). Pada madzab Hanafi dan Maliki tidak diberlakukan ketetapan ini. Pada madzab Hanafi bahkan hak-hak perempuan dalam pernikahan lebih ditonjolkan.

Sebenarnya dalam ketetapan mengenai wali mujbir ini pun tidak mutlaq. Dengan menjadi wali mujbir, bapak tidak boleh serta merta memaksa anaknya untuk menikah dengan seorang laki-laki. Sekali lagi, dalam madzab Syafi’i pertimbangan maslahat-mafsadah juga diterima.

Dalam kontek Indonesia, kita punya undang-undang yang mengatur penetapan usia nikah. Undang-undang itu merupakan hasil ijtihad para ulama atau ahli fikih setempat atau kita sebut sebagai ijtihad jama’i, yakni ijtihad yang dilakukan bersama-sama oleh ulama pada suatu tempat dan pada suatu masa.

Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa batas minimal usia perkawinan untuk perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Lalu juga ada pasal lain yang menyebutkan bahwa pernikahan di bawah usia 21 hanya bisa dilangsungkan dengan persyaratan tambahan.

Aturan mengenai usia nikah itu juga ditegaskan kembali dalam PP No 9 tahun 75 dan Instruksi Presiden No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Maka terlepas dari persoalan Syeh Puji, yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa ketetapan-ketetapan yang berlaku di lingkungan Pengadilan Agama Republik Indonesia harus dipatuhi. Para wali atau orang tua harus memberikan kesempatan kepada anaknya dalam menuntaskan masa kanak-kanaknya untuk belajar dan beroleh pengalaman bersama-teman-temannya yang lain, sebelum ia bekerja atau menjalani kehidupan rumah tangga.

Lebih dari itu, para wali atau orang tua dari anak perempuan juga harus berlaku toleran dan menerima pendapat dari anak perempuannya itu demi kelangsungan masa depannya.

KH Arwani Faishal
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU

Hukum “Pedekate” dengan Facebook dan Alat Komunikasi Lainnya

Hukum “Pedekate” dengan Facebook dan Alat Komunikasi Lainnya


08/06/2009 Berikut ini adalah salah satu hasil bahtsul masail diniyyah atau pembahasan masalah keagamaan oleh Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur di Pondok Pesantren Putri Hidayatul Mubtadiat Lirboyo Kediri 20-21 Mei 2009 lalu. Beberapa media massa sempat memberitakan bahwa forum ini mengharamkan Facebook, sebuah jaringan komunikasi dunia maya. Ternyata tidak sesederhana itu. ***(Teks Arab tidak disertakan. Redaksi)

Dewasa ini, perubahan yang paling ngetop dengan terciptanya fasilitas komunikasi ini adalah tren hubungan muda-mudi (ajnabi) via HP yang begitu akrab, dekat dan bahkan over intim. Dengan fasilitas audio call, video call, SMS, 3G, Chatting, Friendster, facebook, dan lain-lain. Jarak ruang dan waktu yang tadinya menjadi rintangan terjalinnya keakraban dan kedekatan hubungan lawan jenis nyaris hilang dengan hubungan via HP.

Lebih dari itu, nilai kesopanan dan keluguan seseorang bahkan ketabuan sekalipun akan sangat mudah ditawar menjadi suasana fair dan vulgar tanpa batas dalam hubungan ini. Tren hubungan via HP ini barangkali dimanfaatkan sebagai media menjalin hubungan lawan jenis untuk sekedar “main-main” atau justru lebih ekstrim dari itu. Sedangkan bagi mereka yang sudah mengidap “syndrome usia,” hubungan lawan jenis via HP sangat efektif untuk dimanfaatkan sebagai media PDKT (pendekatan) untuk menjajaki atau mengenali karakteristik kepribadian seseorang yang dihasrati yang pada gilirannya akan ia pilih sebagai pasangan hidup atau hanya berhenti pada hubungan sahabat.

Pertanyaan pertama:

Bagaimana hukum PDKT via HP (telpon, SMS, 3G, chatting, friendster, facebook, dan lain-lain) dengan lawan jenis dalam rangka mencari jodoh yang paling ideal atau untuk penjajakan dan pengenalan lebih intim tentang karakteristik kepribadian seseorang yang diminati untuk dijadikan pasangan hidup, baik sebelum atau pasca khitbah (pertunangan)?

Jawaban:

Komunikasi via HP pada dasarnya sama dengan komunikasi secara langsung. Hukum komunikasi dengan lawan jenis tidak diperbolehkan kecuali ada hajat seperti dalam rangka khitbah, muamalah, dan lain sebagainya.

Mengenai pengenalan karakter dan penjajakan lebih jauh terhadap lawan jenis seperti dalam deskipsi tidak dapat dikategorikan hajat karena belum ada ‘azm (keinginan kuat untuk menikahi orang tertentu). Sedang hubungan via 3G juga tidak diperbolehkan bila menimbulkan syahwat atau fitnah.

(Kitab-kitab rujukan: Bariqah Mahmudiyyah vol. IV hal. 7, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah vol. I hal. 12763,  Ihya ‘Ulumiddin vol. III hal. 99, Hasyiyah al-Jamal vol. IV hal. 120, Is’adur Rafiq vol. II hal. 105, Al-Fiqhul Islamy vol. IX  hal. 6292, I’anatut Thalibin vol. III hal. 301, Qulyuby ‘Umairah vol. III hal. 209, I’anatut Thalibin vol. III hal. 260, Al-Fatawi al-Fiqhiyyah al-Kubra vol. I hal. 203, Tausyih ‘ala ibn Qosim hal.197)

Pertanyaan kedua:
   
Mempertimbangkan ekses negatif yang ditimbulkan, kontak via HP (telpon, SMS, 3G, chatting, Friendster, facebook, dan lain-lain) dengan ajnaby (bukan muhrim), bisakah dikategorikan atau semakna dengan khalwah (mojok) jika dilakukan di tempat-tempat tertutup?

Jawaban:

Kontak via HP sebagaimana dalam deskripsi di atas yang dapat menimbulkan syahwat atau fitnah tidak dapat dikategorikan khalwah namun hukumnya haram.

(Beberapa kitab yang dirujuk: Hasyiyah Al-Jamal vol. IV hal. 125, Al-Qamus al-Fiqhy vol. I hal. 122, Bughyatul  Mustarsyidin hal. 200, Asnal Mathalib vol. IV hal. 179, Al-Mausu’atul Fiqhiyyah vol. IXX hal. 267, Hasyiyah Al-Jamal vol. IV hal. 467, Al-Fatawi al-Fiqhiyyah al-Kubra vol. IV hal. 107-107, Hasyiyah Jamal vol. IV hal. 121, Is’adur Rafiq vol. II hal. 93, dan Hasyiyah Al-Jamal vol. IV hal. 121 I’anatut Thalibin vol. III hal. 301, Qulyuby ‘Umairah vol. III hal. 209)

HUKUM MEROKOK, HARAM?

Bahtsul Masail tentang Hukum Merokok
19/01/2009

Sejak awal abad XI Hijriyah atau sekitar empat ratus tahun yang lalu, rokok dikenal dan membudaya di berbagai belahan dunia Islam. Sejak itulah sampai sekarang hukum rokok gencar dibahas oleh para ulama di berbagai negeri, baik secara kolektif maupun pribadi. Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai hukum rokok tidak dapat dihindari dan berakhir kontroversi. Itulah keragaman pendapat yang merupakan fatwa-fatwa yang selama ini telah banyak terbukukan. Sebagian di antara mereka menfatwakan mubah alias boleh, sebagian berfatwa makruh, sedangkan sebagian lainnya lebih cenderung menfatwakan haram.

Kali ini dan di negeri ini yang masih dilanda krisis ekonomi, pembicaraan hukum rokok mencuat dan menghangat kembali. Pendapat yang bermunculan selama ini tidak jauh berbeda dengan apa yang telah terjadi, yakni tetap menjadi kontroversi.

Kontroversi Hukum Merokok

Seandainya muncul fatwa, bahwa korupsi itu hukumnya haram berat karena termasuk tindak sariqah (pencurian), maka semua orang akan sependapat termasuk koruptor itu sendiri. Akan tetapi persoalannya akan lain ketika merokok itu dihukumi haram. Akan muncul pro dari pihak tertentu dan muncul pula kontra serta penolakan dari pihak-pihak yang tidak sepaham. Dalam tinjauan fiqh terdapat beberapa kemungkinan pendapat dengan berbagai argumen yang bertolak belakang.

Pada dasarnya terdapat nash bersifat umum yang menjadi patokan hukum, yakni larangan melakukan segala sesuatu yang dapat membawa kerusakan, kemudaratan atau kemafsadatan sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai berikut:

Al-Qur’an :

وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ. البقرة: 195


Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 195)

As-Sunnah :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ. رواه ابن ماجه, الرقم: 2331

Dari Ibnu ‘Abbas ra, ia berkata ; Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri sendiri), dan tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri orang lain). (HR. Ibnu Majah, No.2331)

Bertolak dari dua nash di atas, ulama’ sepakat mengenai segala sesuatu yang membawa mudarat adalah haram. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah merokok itu membawa mudarat ataukah tidak, dan terdapat pula manfaat ataukah tidak. Dalam hal ini tercetus persepsi yang berbeda dalam meneliti dan mencermati substansi rokok dari aspek kemaslahatan dan kemafsadatan. Perbedaan persepsi ini merupakan babak baru munculnya beberapa pendapat mengenai hukum merokok dengan berbagai argumennya.

Seandainya semua sepakat, bahwa merokok tidak membawa mudarat atau membawa mudarat tetapi relatif kecil, maka semua akan sepakat dengan hukum mubah atau makruh. Demikian pula seandainya semuanya sepakat, bahwa merokok membawa mudarat besar, maka akan sepakat pula dengan hukum haram.

Beberapa pendapat itu serta argumennya dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam hukum.

Pertama ; hukum merokok adalah mubah atau boleh karena rokok dipandang tidak membawa mudarat. Secara tegas dapat dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan.

Kedua ; hukum merokok adalah makruh karena rokok membawa mudarat relatif kecil yang tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram.

Ketiga; hukum merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudarat. Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian medis, bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama membiasakannya.

Tiga pendapat di atas dapat berlaku secara general, dalam arti mubah, makruh dan haram itu bagi siapa pun orangnya. Namun bisa jadi tiga macam hukum tersebut berlaku secara personal, dengan pengertian setiap person akan terkena hukum yang berbeda sesuai dengan apa yang diakibatkannya, baik terkait kondisi personnya atau kwantitas yang dikonsumsinya. Tiga tingkatan hukum merokok tersebut, baik bersifat general maupun personal terangkum dalam paparan panjang ‘Abdur Rahman ibn Muhammad ibn Husain ibn ‘Umar Ba’alawiy di dalam Bughyatul Mustarsyidin (hal.260) yang sepotong teksnya sebagai berikut:

لم يرد في التنباك حديث عنه ولا أثر عن أحد من السلف، ……. والذي يظهر أنه إن عرض له ما يحرمه بالنسبة لمن يضره في عقله أو بدنه فحرام، كما يحرم العسل على المحرور والطين لمن يضره، وقد يعرض له ما يبيحه بل يصيره مسنوناً، كما إذا استعمل للتداوي بقول ثقة أو تجربة نفسه بأنه دواء للعلة التي شرب لها، كالتداوي بالنجاسة غير صرف الخمر، وحيث خلا عن تلك العوارض فهو مكروه، إذ الخلاف القوي في الحرمة يفيد الكراهة

Tidak ada hadits mengenai tembakau dan tidak ada atsar (ucapan dan tindakan) dari seorang pun di antara para shahabat Nabi SAW. … Jelasnya, jika terdapat unsur-unsur yang membawa mudarat bagi seseorang pada akal atau badannya, maka hukumnya adalah haram sebagaimana madu itu haram bagi orang yang sedang sakit demam, dan lumpur itu haram bila membawa mudarat bagi seseorang. Namun kadangkala terdapat unsur-unsur yang mubah tetapi berubah menjadi sunnah sebagaimana bila sesuatu yang mubah itu dimaksudkan untuk pengobatan berdasarkan keterangan terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa sesuatu itu dapat menjadi obat untuk penyakit yang diderita sebagaimana berobat dengan benda najis selain khamr. Sekiranya terbebas dari unsur-unsur haram dan mubah, maka hukumnya makruh karena bila terdapat unsur-unsur yang bertolak belakang dengan unsur-unsur haram itu dapat difahami makruh hukumnya.

Senada dengan sepotong paparan di atas, apa yang telah diuraikan oleh Mahmud Syaltut di dalam Al-Fatawa (hal.383-384) dengan sepenggal teks sebagai berikut:

إن التبغ ….. فحكم بعضهم بحله نظرا إلى أنه ليس مسكرا ولا من شأنه أن يسكر ونظرا إلى أنه ليس ضارا لكل من يتناوله, والأصل في مثله أن يكون حلالا ولكن تطرأ فيه الحرمة بالنسبة فقط لمن يضره ويتأثر به. …. وحكم بعض أخر بحرمته أوكراهته نظرا إلى ما عرف عنه من أنه يحدث ضعفا فى صحة شاربه يفقده شهوة الطعام ويعرض أجهزته الحيوية أو أكثرها للخلل والإضطراب.

Tentang tembakau … sebagian ulama menghukumi halal karena memandang bahwasanya tembakau tidaklah memabukkan, dan hakikatnya bukanlah benda yang memabukkan, disamping itu juga tidak membawa mudarat bagi setiap orang yang mengkonsumsi. …Pada dasarnya semisal tembakau adalah halal, tetapi bisa jadi haram bagi orang yang memungkinkan terkena mudarat dan dampak negatifnya. Sedangkan sebagian ulama’ lainnya menghukumi haram atau makruh karena memandang tembakau dapat mengurangi kesehatan, nafsu makan, dan menyebabkan organ-organ penting terjadi infeksi serta kurang stabil.

Demikian pula apa yang telah dijelaskan oleh Prof Dr Wahbah Az-Zuhailiy di dalam Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh (Cet. III, Jilid 6, hal. 166-167) dengan sepotong teks, sebagai berikut:

القهوة والدخان: سئل صاحب العباب الشافعي عن القهوة، فأجاب: للوسائل حكم المقاصد فإن قصدت للإعانة على قربة كانت قربة أو مباح فمباحة أو مكروه فمكروهة أو حرام فمحرمة وأيده بعض الحنابلة على هذا التفضيل. وقال الشيخ مرعي بن يوسف الحنبلي صاحب غاية المنتهى: ويتجه حل شرب الدخان والقهوة والأولى لكل ذي مروءة تركهما


Masalah kopi dan rokok; penyusun kitab Al-‘Ubab dari madzhab Asy-Syafi’i ditanya mengenai kopi, lalu ia menjawab: (Kopi itu sarana) hukum, setiap sarana itu sesuai dengan tujuannnya. Jika sarana itu dimaksudkan untuk ibadah maka menjadi ibadah, untuk yang mubah maka menjadi mubah, untuk yang makruh maka menjadi makruh, atau haram maka menjadi haram. Hal ini dikuatkan oleh sebagian ulama’ dari madzhab Hanbaliy terkait penetapan tingkatan hukum ini. Syaikh Mar’i ibn Yusuf dari madzhab Hanbaliy, penyusun kitab Ghayah al-Muntaha mengatakan : Jawaban tersebut mengarah pada rokok dan kopi itu hukumnya mubah, tetapi bagi orang yang santun lebih utama meninggalkan keduanya.

Ulasan ‘Illah (reason of law)

Sangat menarik bila tiga tingkatan hukum merokok sebagaimana di atas ditelusuri lebih cermat. Kiranya ada benang ruwet dan rumit yang dapat diurai dalam perbedaan pendapat yang terasa semakin sengit mengenai hukum merokok. Benang ruwet dan rumit itu adalah beberapa pandangan kontradiktif dalam menetapkan ‘illah atau alasan hukum yang di antaranya akan diulas dalam beberapa bagian.

Pertama; sebagian besar ulama’ terdahulu berpandangan, bahwa merokok itu mubah atau makruh. Mereka pada masa itu lebih bertendensi pada bukti, bahwa merokok tidak membawa mudarat, atau membawa mudarat tetapi relatif kecil. Barangkali dalam gambaran kita sekarang, bahwa kemudaratan merokok dapat pula dinyaakan tidak lebih besar dari kemudaratan durian yang jelas berkadar kolesterol tinggi. Betapa tidak, sepuluh tahun lebih seseorang merokok dalam setiap hari merokok belum tentu menderita penyakit akibat merokok. Sedangkan selama tiga bulan saja seseorang dalam setiap hari makan durian, kemungkinan besar dia akan terjangkit penyakit berat.

Kedua; berbeda dengan pandangan sebagian besar ulama’ terdahulu, pandangan sebagian ulama sekarang yang cenderung mengharamkan merokok karena lebih bertendensi pada informasi (bukan bukti) mengenai hasil penelitian medis yang sangat detail dalam menemukan sekecil apa pun kemudaratan yang kemudian terkesan menjadi lebih besar. Apabila karakter penelitian medis semacam ini kurang dicermati, kemudaratan merokok akan cenderung dipahami jauh lebih besar dari apa yang sebenarnya. Selanjutnya, kemudaratan yang sebenarnya kecil dan terkesan jauh lebih besar itu (hanya dalam bayangan) dijadikan dasar untuk menetapkan hukum haram. Padahal, kemudaratan yang relatif kecil itu seharusnya dijadikan dasar untuk menetapkan hukum makruh.

Hal seperti ini kemungkinan dapat terjadi khususnya dalam membahas dan menetapkan hukum merokok. Tidakkah banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi. Mungkinkah setiap makanan dan minuman yang dinyatakan tidak steril itu kemudian dihukumi haram, ataukah harus dicermati seberapa besar kemudaratannya, kemudian ditentukan mubah, makruh ataukah haram hukumnya.

Ketiga; hukum merokok itu bisa jadi bersifat relatif dan seimbang dengan apa yang diakibatkannya mengingat hukum itu berporos pada ‘illah yang mendasarinya. Dengan demikian, pada satu sisi dapat dipahami bahwa merokok itu haram bagi orang tertentu yang dimungkinkan dapat terkena mudaratnya. Akan tetapi merokok itu mubah atau makruh bagi orang tertentu yang tidak terkena mudaratnya atau terkena mudaratnya tetapi kadarnya kecil.

Keempat; kalaulah merokok itu membawa mudarat relatif kecil dengan hukum makruh, kemudian di balik kemudaratan itu terdapat kemaslahatan yang lebih besar, maka hukum makruh itu dapat berubah menjadi mubah. Adapun bentuk kemaslahatan itu seperti membangkitkan semangat berpikir dan bekerja sebagaimana biasa dirasakan oleh para perokok. Hal ini selama tidak berlebihan yang dapat membawa mudarat cukup besar. Apa pun yang dikonsumsi secara berlebihan dan jika membawa mudarat cukup besar, maka haram hukumnya. Berbeda dengan benda yang secara jelas memabukkan, hukumnya tetap haram meskipun terdapat manfaat apa pun bentuknya karena kemudaratannya tentu lebih besar dari manfaatnya.

KH Arwani Faishal
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU

 

 

TAWASUL, BUKANKAH SYIRIK?

Tawassul Apakah Bukan Termasuk Syirik?
01/12/2009

Seorang pembaca NU Online menanyakan fasal tentang tawassul atau mendoakan melalui perantara orang yang sudah meninggal. “Apakah bertawasul/berdo’a dengan perantaraan orang yang sudah mati hukumnya haram atau termasuk syirik karena sudah meminta kepada sang mati (lewat perantaraan)? Saya gelisah, karena amalan ini banyak dilakukan oleh masyarakat di Indonesia. Apalagi dilakukan sebelum bulan Ramadhan dengan mengunjungi makam-makam wali dan lain-lain sehingga untuk mendo’akan orang tua kita yang sudah meninggal pun seakan terlupakan,” katanya.

Perlu kami jelaskan kembali bahwa tawassul secara bahasa artinya perantara dan mendekatkan diri. Disebutkan dalam firman Allah SWT:

يآأَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, ” (Al-Maidah:35).

Pengertian tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat muslim selama ini bahwa tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju Allah SWT. Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa.

Banyak sekali cara untuk berdoa agar dikabulkan oleh Allah SWT, seperti berdoa di sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam, berdoa dengan didahului bacaan alhamdulillah dan shalawat dan meminta doa kepada orang sholeh. Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha agar doa yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah SWT . Dengan demikian, tawasul adalah alternatif dalam berdoa dan bukan merupakan keharusan

Para ulama sepakat memperbolehkan tawassul kepada Allah SWT dengan perantaraan amal sholeh, sebagaimana orang melaksanakan sholat, puasa dan membaca Al-Qur’an. Seperti hadis yang sangat populer diriwayatkan dalam hadits sahih yang menceritakan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua, yang pertama bertawassul kepada Allah SWT atas amal baiknya terhadap kedua orang tuanya; yang kedua bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang selalu menjahui perbuatan tercela walaupun ada kesempatan untuk melakukannya; dan yang ketiga bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya  yang mampu menjaga amanat terhadap harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh, maka Allah SWT memberikan jalan keluar bagi mereka bertiga.

Adapun yang menjadi perbedaan di kalangan ulama adalah bagaimana hukumnya bertawassul tidak dengan amalnya sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap sholeh dan mempunyai martabat dan derajat tinggi di mata Allah SWT. Sebagaimana ketika seseorang mengatakan: “Ya Allah SWT aku bertawassul kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammmad SAW atau Abu Bakar atau Umar dll”. Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini.

Pendapat mayoritas ulama mengatakan boleh, namun beberapa ulama mengatakan tidak boleh. Akan tetapi kalau dikaji secara lebih detail dan mendalam, perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan lahiriyah bukan perbedaan yang mendasar karena pada dasarnya tawassul kepada dzat (entitas seseorang), adalah tawassul pada amal perbuatannya, sehingga masuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan oleh ulama’. Pendapat ini berargumen dengan prilaku (atsar) sahabat Nabi SAW:

عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ إِنَّ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ كَانَ إِذَا قَحَطُوْا اسْتَسْقَى بِالعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ المُطَلِّبِ فَقَالَ  اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إَلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتُسْقِيْنَا وَإِنَّا نَنَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَافَيَسْقُوْنَ. أخرجه الإمام البخارى فى صحيحه ج: 1 ص:137

“Dari Anas bin malik bahwa Umar bin Khattab ketika menghadapi kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muttalib, lalu Umar berkata: “Ya Allah, kami telah bertawassul dengan Nabi kami SAW dan Engkau beri kami hujan, maka kini kami bertawassul dengan Paman Nabi kita SAW, maka turunkanlah hujan..”. maka hujanpun turun.” (HR. Bukhori)

Imam Syaukani mengatakan bahwa tawassul kepada Nabi Muhammad SAW  ataupun kepada yang lain (orang shaleh), baik pada masa hidupnya  maupun  setelah meninggal adalah merupakan ijma’ para sahabat. “Ketahuilah bahwa tawassul bukanlah meminta kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi berperantara kepada keshalihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah SWT, sesekali bukanlah manfaat dari manusia, tetapi dari Allah SWT yang telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi hamba yang shalih, hidup atau mati tak membedakan atau membatasi kekuasaan Allah SWT, karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah SWT tetap abadi walau mereka telah wafat.”

Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah SWT menjadikan perantaraan berupa sesuatu yang dicintai-Nya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga mencintai perantaraan tersebut. Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah SWT bisa memberi manfaat dan madlarat kepadanya. Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan madlarat, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlarat sesungguhnya hanyalah Allah SWT semata.

Jadi kami tegaskan kembali bahwa sejatinya tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Tawassul hanyalah merupakan pintu dan perantara dalam berdoa untuk menuju Allah SWT. Maka tawassul bukanlah termasuk syirik karena orang yang bertawasul meyakini bahwa hanya Allah-lah yang akan mengabulkan semua doa. Wallahu a’lam bi al-shawab.

H M. Cholil Nafis
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU

Mengapa Bertawassul?
07/08/2007

Wasilah (=perantara) artinya sesuatu yang menjadikan kita dekat kepada Allah SWT. Adapun tawassul sendiri berarti mendekatkan diri kepada Allah atau berdo’a kepada Allah dengan mempergunakan wasilah, atau mendekatkan diri dengan bantuan perantara. Pernyataan demikan dapat dilihat dalam surat Al-Maidah ayat 35, Allah berfirman :

يَااَيُّهَااَّلذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوااللهَ وَابْتَغُوْا إِلَيْهِ اْلوَسِيْلَةَ

Wahai orang-orang yang beriman takutlah kamu kepada Allah, dan  carilah jalan (wasilah/perantara).”

Ada beberapa macam wasilah. Orang-orang yang dekat dengan Allah bisa menjadi wasilah agar manusia juga semakin dekat kepada Allah SWT. Ibadah dan amal kebajikan juga dapat dijadikan wasilah yang mendekatkan diri kepada Allah SWT. Amar ma’ruf dan nahi mungkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) juga termasuk wasilah yang mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Mengenai tawassul dengan sesama manusia, tidak ada larangan dalam ayat Al-Qur’an dan Hadits mengenai tawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah para Nabi, para Rasul, sahabat-sahabat Rasulullah SAW, para tabi’in, para shuhada dan para ulama shalihin.

Karena itu, berdo’a dengan memakai wasilah orang-orang yang dekat dengan Allah di atas tidak disalahkan, artinya telah disepakati kebolehannya. Bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah, senyatanya tetap memohon kepada Allah SWT karena Allah-lah tempat meminta dan harus diyakini bahwa sesungguhnya:

لاَمَانَعَ لمِاَ اَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِى لمِاَ مَنَعْتَ

Tidak ada yang bisa mencegah terhadap apa yang Engkau (Allah) berikan, dan tidak ada yang bisa memberi sesuatu apabila Engkau (Allah) mencegahnya.

Secara psikologis tawassul sangat membantu manusia dalam berdoa. Katakanlah bertawassul sama dengan meminta orang-orang yang dekat kepada Allah SWT itu agar mereka ikut memohon kepada Allah SWT atas apa yang kita minta.

Tidak ada unsur-unsur syirik dalam bertawassul, karena pada saat bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah SWT seperti para Nabi, para Rasul dan para shalihin, pada hakekatnya kita tidak bertawassul dengan dzat mereka, tetapi bertawassul dengan amal perbuatan mereka yang shaleh.

Karenanya, tidak mungkin kita bertawassul dengan orang-orang yang ahli ma’siat, pendosa yang menjauhkan diri dari Allah, dan juga tidak bertawassul dengan pohon, batu, gunung dan lain-lain.

 

KH A Nuril Huda
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)

 

Tawassul dengan Rasulullah SAW
04/09/2007

Sewaktu masih hidup dan setelah wafat, tawassul pada Rasulullah itu disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, misalnya, firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 64:

وَلَوْ اَنَّهُمْ اِذْظَلَمُوْااَنْفُسَهُمْ جَاءُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوااللهَ وَاسْتَغْفَرَلَهُمُ الَّرسُوْلُ لَوْ جَدُوااللهَ تَوَّاباً رَحِيْماً

Walaupun sesungguhnya mereka telah berbuat dhalim terhadap diri mereka, kemudian mereka datang kepadamu (Muhammad), mereka meminta ampun kepada Allah dan Rasul memintakan ampun untuk mereka, pasti mereka menjumpai Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

Dalam ayat tersebut, dijelaskan bahwa Allah SWT mengampuni dosa-dosa orang yang dhalim, disamping do’a mereka tetapi ada juga wasilah (do’anya) Rasulullah SAW.

Soal tawassul seperti itu, disebutkan pula dalam tafsir Ibnu Katsir juz I;

قَالَ الإِمَامُ اْلحَافِظُ السَّيْخُ عِمَادُالدِيْنِ كَثِيْر ذَكَرَ جَمَاعَةٌ مِنْهُمُ السَّيْخُ أَبُوْ مَنْصُوْرٍالصَّبَاغُ فِىكِتَاِبهِ الشَّامِلِ اْلحِكَايَةَ اَلمَشْهُوْرَةَ عَنِ اْلعَتَبِىِّ قَالَ: كُنْتُ جَالِساً عِنْدَ قَبْرِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاَء اَعْرَابِىٌّ فَقَالَ: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَارَسُوْلَ اللهِ َسمِعْتُ اللهَ يَقُوْلُوْ وَلَوْ اَنَّهُمْ اِذْ ظَلَمُوْااَ نْفُسَهُمْ جَاءُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوااللهَ وَاسْتَغْفَرَلَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوْجَدُوااللهَ تَوَّاباً رَحِيْماً. وَقَدْجِئْتُكَ مُسْتَغْفِرًالِذَنْبِى مُسْتَشْفِعاً بِكَ اِلىَ رَبِّى ثُمَّ أَنْشَدَ ثُمَ انْصَرَفَ اْلأَعْرَاِبىُّ فَغَلَبَتْنىِ عَيْنىِ فَرَأَيْتُ النَبِىُّ فِى النَّوْمِ فَقَالَ يَاعَتَبِىُّ اْلحَقِّ اْلأَعْرَاِبىُّ فَبَشِّرْهُ اَنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَلَهُ.

“Berkata Al-Imam Al-Hafidz As-Syekh Imaduddin Ibnu Katsir, menyebutkan segolongan ulama’ di antaranya As-Syekh Abu Manshur As-Shibagh dalam kitabnya As-Syaamil dari Al-Ataby; berkata: saya duduk di kuburan Nabi SAW maka datanglah seorang Badui dan ia berkata: Assalamu’alaika ya Rasulullah! Saya telah mendengar Allah berfirman; Walaupun sesungguhnya mereka telah berbuat dhalim terhadap diri mereka kemudian datang kepadamu dan mereka meminta ampun kepada Allah, dan Rasul memintakan ampun untuk mereka, mereka pasti mendapatkan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang; dan saya telah datang kepadamu (kekuburan Rssulullah) dengan meminta ampun akan dosaku dan memohon syafa’at dengan wasilahmu (Nabi) kepada Allah, kemudian ia membaca syair memuji Rasulullah, kemudian orang Badui tadi pergi, maka saya ketiduran dan melihat Rasulullah dalam tidur saya, beliau bersabda: Wahai Ataby temuilah orang Badui tadi sampaikan kabar gembira bahwa Allah telah mengampuni dosanya.”

Dalam riwayat di atas dipaparkan bahwa Ataby diampuni dosanya dengan tawassul kepada Nabi yang telah wafat. Riwayat di atas diriwayatkan oleh Imam Nawawi dalam
لاءيضاح فىمناسك الحج للا مام النووى halaman 485

Selanjutnya, diriwayatkan juga oleh Abu Muhammad Ibnu Quddamah dalam kitabnya Al-Mughni juz. III. Riwayat Al-Ataby ini banyak sekali diriwayatkan oleh para Ulama’ terkemuka.

KH A Nuril Huda
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)

 

Tawassul dengan para Sahabat dan Shalihin
18/09/2007

Dalam kitab Riyadlus-Shalihin bab Wadaais-shahib hadits no.3, Rasulullah SAW bertawassul supaya Umar jangan lupa untuk menyertakan Rasulullah dalam segala do’anya di Mekkah ketika umrah.

عَنْ عُمَرَبْنِ اْلخَطَّابِ رَضِىَاللهُ عَنْهُ قَالَ اِسْتَأْذَنْتُ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى اْلعُمْرَةِ فَأذِنَ لىِ وَقَالَ: لاَتَنْسَنَا يَااُخَيَّ مِنْ دُعَائِكَ فَقَالَ كَلِمَةً مَايَسُرُّنِى اَنَّ لىِ بِهَاالدُّنْيَا. وَفِى رِوَايَةِ قَالَ اَشْرِكْنَا يَااُخَىَّ فِى دُعَائِكَ. رواه ابوداود والترمذى

Dari shahabat Umar Ibnul Khattab r.a. berkata: saya minta idzin kepada Nabi SAW untuk melakukan ibadah umrah, kemudian Nabi mengidzinkan saya dan Rasulullah SAW bersabda; wahai saudaraku! Jangan kau lupakan kami dalam do’amu; Umar berkata: suatu kalimat yang bagi saya lelah senang dari pada pendapat kekayaan dunia. Dalam riwayat lain; Rasulullah SAW bersabda: sertakanlah kami dalam do’amu”. (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)

Dan masih banyak lagi dalil-dalil tawassul, namun kiranya cukup apa yang telah disebutkan di atas.

Dalam hadits di atas Rasulullah meminta kepada sayyidina Umar untuk menyertakan Rasulullah dalam do’anya sayyidina Umar selama di Makkah, padahal kalau Rasulullah berdo’a sendiri tentu lebih diterima, tetapi beliau masih meminta do’a kepada sayyidinda Umar.

Sandaran lain untuk tawassul jenis ini seperti dalam kitab Sahhihul Bukhari jilid I, bahwa Sayyidina Umar Ibnul Khattab bertawassul dengan Rasulullah dan Sahabat Abbas ketika musim paceklik, sebagaimana disebutkan berikut ini:

عَنْ أَنَسٍ اَنَّ عُمَرَابْنَ اْلخَطَّابِ رَضِىَاللهُ عَنْهُ كاَنَ اِذَا قَحَطُوْا اِسْتَسْقىَ بِالعَبَّاسِْبنِ عَبْدِاْلمُطَلِّبِ فَقَالَ: الَّلهُمَّ اِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا وَاِنَّا نَتَوَسَّلُ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا, قَالَ: فَيُسْقَوْنَ. رواه البخارى

Dari sahabat Anas; bahwasannya Umar Ibnul Khattab r.a. apabila dalam keadaan paceklik (kekeringan) ia memohon hujan dengan wasilah Sahabat Abbas Ibn Abdil Muthalib, maka berdo’a sayyidina Umar : Yaa Allah sesungguhnya kami bertawassul kepada Engkau dengan wasilah paman Nabi kami (Sahabat Abbas) maka berilah kami hujan, berkata Sayyidina Umar kemudian diturunkan hujan”. (HR Bukhari)

Bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah seperti para nabi, rasul dan shalihin, bukan berarti meminta kepada mereka, tetapi memohon agar mereka ikut memohon kepada Allah agar permohonan do’a diterima Allah SWT. Sebab, seluruhnya juga adalah haq Allah, seperti disebutkan berikut ini:

لاَمَانِعَ لمِاَ أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لمِاَ مَنَعْتَ

Tiada ada yang mencegah kalau Allah mau memberi, dan tidak ada yang bisa memberi kalau Allah mencegahnya.”

قُلْ هُوَاللهُ اَحَدٌ, اَللهُ الصَّمَدُ

Katakanlah Dia Allah yang Maha Esa dan Allah tempat meminta.”

Dalam kitab Al-Kabir wal Awsath Al-Imam Thabrani meriwayatkan sejarah Fathimah binti Asad Ibu Sayyidina Ali bin Abi Thalib ketika wafat, Rasulullah SAW yang menggali kuburan dan membuang tanahnya dengan tangan beliau. Maka tatkala selesai, Rasulullah masuk ke kubur tadi dan berbaring sambil berdo’a :

اَللهُ الَّذِى يحُىِْ وَيمُيِتُ وَهُوَ حَيٌّ لاَيَمُوْتُ اغْفِرْ لأُِ مّىِ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ وَلَقّنْهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مَدْ خَلَهَا ِبحَقّ ِنَبِيّكَ وَاْلأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِى فَاءِنَّكَ اَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ وَكَبَّرَأَرْبَعًا وَاَدْخَلُوْ هَا هُوَ وَاْلعَبَّاسُ وَاَبُوْ بَكْرٍ الّصِدّيِقِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمْ

“Allah yang menghidupkan dan yang mematikan dan Dia yang hidup tidak mati; Ampunilah! Untuk Ibu saya Fathimah binti Asad dan ajarkanlah kepadanya hujjah (jawaban ketika ditanya malaikat) kepadanya dan luaskan kuburnya dengan wasilah kebenaran Nabimu dan kebenaran para Anbiya’ sebelum saya, sesungguhnya Engkau Maha Pengasih dan Rasulullah takbir empat kali dan mereka memasukkan ke dalam kubur ia (Rasulullah), Sahabat Abbas Abu Bakar As-Shaddiq r.a.” (HR Thabrani).

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban dan Hakim dari shahabat Anas. Lalu, diriwayatkan pula Ibnu Abi Syaibah dari shahabat Jabir, dan diriwayatkan pula Ibnu Abdul Barr dari shahbat Ibnu Abbas.

Dengan demikian, bertawassul dengan berdo’a dan mempergunakan wasilah, baik dengan iman, amal shaleh dan dengan orang-orang yang dekat kepada Allah SWT jelas tidak disalahkan oleh agama bahkan dibenarkan. Lalu, bertawassul bukan berarti meminta kepada yang dijadikan wasilah, tetapi memohon agar yang dijadikan wasilah memberikan keberkahan untuk diterima do’a para pemohonnya. Selanjutnya, bertawassul dengan wasilah yang disenangi Allah, atau berdo’a dengan menyebut sesuatu yang disenangi Allah, tentu Allah akan menyenangi kita, dan meridloinya. Maka apa yang disenangi Allah, seyogyanya disebut dalam do’a

KH A Nuril Huda

Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)

 

Bertawassul dengan Orang yang Sudah Mati
14/08/2007

Kembali pada keyakinan kita, bahwa ketika seseorang mati maka yang rusak dan hancul adalah badannya atau jasadnya, sedang rohnya tetap hidup dan tidak mati. Sebab, mereka itu berada di alam barzah. Mereka telah putus segala amal perbuatan mereka untuk diri mereka sendiri. Dalam kitab Shahih Muslim juz II disebutkan;

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ: اِذَامَاتَ اْلاِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ اِلاَّ مَنْ ثَلاَثٍ اِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَاِلحٍ يَدْعُوْلَهُ.

Apabila manusia telah mati maka terputuslah darinya amalnya, kecuali tiga; kecuali dari shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfa’at atau anak shaleh yang mendo’akan.” (HR Muslim)

Hadits semacam ini juga termaktub dalam Sunan Tirmidzi juz III, dalam Sunan Abu Dawud juz III dan dalam Sunanu Nasa’i juz VI. Hadits di atas menjelaskan bahwa apabila manusia telah meninggal dunia itu putus segala amalnya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk orang lain, misalnya ahli kubur mendo’akan orang yang di dunia tidak ada keterangan yang melarang.

Adanya salam yang disampaikan Rasulullah SAW setiap melewati kubur, menunjukkan bahwa ahli kubur menjawab salam yang kita ucapkan. Dalam riwayat Imam Tirmidzi dalam Sunannya, juz III, Rasulullah SAW bersabda;

 اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ يَاأَهْلَ اْلقُبُوْرِ يَغْفِرُاللهُ لَنَا وَلَكُمْ وَأَنْتُمْ سَلَفُنَا وَنَحْنُ بِاْلأَثَرِ

Keselamatan atas engkau wahai ahli kubur, mudah-mudahan Allah mengampuni kami dan mengampuni kalian, kalian pendahulu kami dan kami mengikuti jejak kalian.” (HR Tirmidzi)

Tentu salam Rasulullah SAW dijawab oleh ahli kubur dan juga salam kita dijawab; “Mudah-mudahan keselamatan bagi engkau wahai orang yang masih hidup di dunia.” Adapun do’a ahli kubur kepada kita diterima atau tidak, itu adalah urusan Allah.

Mendo’akan orang tua, kemudian orang tua di alam barzah mendo’akan kepada yang berdo’a agar selamat, hal ini tidak ada larangan dalam agama. Baik orang yang berdo’a maupun ahli kubur seluruhnya memohon kepada Allah. Perlu diingat bahwa bagi yang berdo’a di dunia, itu tidak meminta kepada ahli kubur, karena diyakini bahwa mereka tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak bisa memberikan apa-apa.

Bertawassul dengan ahli kubur artinya agar ahli kubur bersama-sama dengan pendo’a memohon kepada Allah. Seperti ketika berdiri di depan kuburan Rasulullah SAW mengucapkan salam. Di beberapa hadits, Rasulullah menjawab salam orang yang menyampaikan salam kepada beliau.

 اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَارَسُوْلَ اللهِ

Bisa diambil pengertian bahwa Rasulullah SAW di dalam kubur juga mendo’akan para pemberi salam atau yang bertawassul.

KH A Nuril Huda
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)