MENGHILANGKAN SEMUA TRADISI ISLAM MALAH BISA SEKULER

Arif Nur Kholis   , http://www.muhammadiyah.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=905&Itemid=2

Yogyakarta– Dr. Yunahar Ilyas menyatakan bahwa bila kita terlalu bersemangat menghilangkan semua tradisi Islam, karena di anggap bid’ah, kita malah bisa sekuler. Menurutnya, tradisi yang dijalankan asalkan masih dalam kerangka budaya, tidak menjadi masalah untuk dijalankan.

Lebih lanjut dalam pengajian mahasiswa, kamis (14/02/2008), di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta, ada yang  menganggap pembacaan shadaqallahuladhim ketika mengakhiri bacaan Al Qur’an masuk dalam kriteria bid’ah, karena tidak ada tuntunannya. Menurutnya,  hal  seperti itu termasuk dalam tradisi Islam, bila dilestarikan tidak masalah walaupun tidak adala tuntunannya. Menurutnya,  kadang ada juga yang menganggap bid’ah pemakaian peci hitam dan baju batik ketika menunaikan shalat. “Saya mengalaminya ketika di Arab Saudi” kisah sosok yang sering dipanggil Ustaz Yunahar tersebut. Padahal, peci hitam dan batik masuk dalam wilayah budaya yang tidak perlu dianggap bidah.

Dalam kasus lain, adakalanya sekelompok orang yang menganggap berzikir menggunakan tasbih itu juga bid’ah. Padahal, karena  Rasulullah Muhammad SAW tidak pernah menuntukkan teknis menghitung dalam zikir seusai shalat, jadi pemakaian tasbih pada waktu zikir tidak perlu  dianggap bidah. “Kalau ada yang mewajibkan berzikir harus menggunakan tasbih, itu baru bid’ah” ungkapnya. “Bahkan kalau ada alat lain yang mau dipakai, silahkan saja” ungkapnya.

Walaupun demikian, menurutnya dalam perdebatan masalah seperti ini, kita harus bersabar menghadapinya. “Kadangkala wilayah sabar kira harus luas menghadapi mereka yang wilayah bid’ahnya terlalu luas ini” terangnya.  “Seharusnya yang bid’ah kita katakan bid’ah dan yang tidak juga katakan tidak.” tegasnya.

Lawatan ke Singapura

Sebelumnya, Usatadz Yunahar Ilyas selama 3 hari sejak Jum’at (8/02/2008) berada di Singapura untuk memberikan serangkaian pengajian kepada warga Muhammadiyah di kota singa tersebut. Tiga kali pengajian diberikan kepada warga Muhammadiyah di Masjid Muhammadiyah jl Selamat no 14 dan satukali khusus untuk para mahasiswa Kolej Islam Muhammadiyah Sinagpore (KIMS) bertempat di ruang kuliah KIMS. Serangkaian acara ini diorganisir oleh Muhammadiyah Cawang Zone Utara yang dipimpin olej Rasman bin Saridin, yang mendapat gelar kesarjanaan di UM Malang. (Arif).

MENGAKHIRI DUALISME PEMAHAMAN TAHLIL

Ditulis oleh PMII KOMFAKSYAHUM di/pada Mei 7, 2009 Peresensi: Abdul Halim Fathani Yahya*)
Judul Buku: Tahlil dan Kenduri; Tradisi Santri dan Kiai, Penulis: H.M. Madchan Anies, Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta, Cetakan: I, Februari 2009, Tebal Buku: xii + 180 Halaman

Umat Islam di Indonesia khususnya warga NU (Nahdliyin) telah mentradisikan tahlil dalam berbagai hajatan, seperti yang biasa dilaksanakan 7 hari, 40 hari, 100 hari, atau 1000 hari dari kematian keluarga/tetangganya. Di kalangan pesantren, santri dan keluarga ndalem biasanya menyelenggarakan acara haul untuk melakukan “kiriman doa” kepada kiainya yang telah meninggal dunia.

Tentang tahlil, sebagian masyarakat kita masih terkotak pada dua kelompok pro dan kontra. Ada yang menganggap bahwa tahlil merupakan tradisi baru, yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi SAW, mereka menganggap tradisi tahlil sebagai bid’ah, sehingga tidak selayaknya sebagai seorang muslim untuk mengamalkannya. Sementara, di pihak lain (baca: kaum Nahdliyyin), meski sebagian dari mereka belum tahu persis landasan hukumnya, namun hal ini tidak mengurangi semangatnya untuk mengamalkan tahlil.

Tradisi tahlilan merupakan salah satu hasil akulturasi antara nilai-nilai masyarakat setempat dengan nilai-nilai Islam, di mana tradisi ini tumbuh subur di kalangan Nahdliyyin. Sementara ormas-ormas lainnya cenderung memusuhi bahkan berusaha mengikisnya habis-habisan. Seakan-akan tradisi tahlilan menjelma sebagai tanda pembeda apakah dia warga NU, Muhammadiyah, Persis, atau yang lainnya. Terjadinya polemik tentang tahlil tersebut, tentu bisa berdampak pada rusaknya ikatan kekeluargaan antar muslim, seperti saling menuduh dan menyesatkan kelompok lainnya, timbulnya rasa curiga yang berlebihan.

Memang, -harus dipahami- tahlil sampai saat ini masih menjadi masalah khilafiyah yang harus diterima dengan lapang dada. Ritual tahlil memang tidak dituntunkan oleh Rasulullah SAW, sehingga bukan merupakan bentuk ibadah mahdhah, bukan ibadah khusus. Ritual tahlil ini sekedar amalan baik yang memiliki keutamaan dan faedah. Bila faedah dari amalan tahlil ini dapat menghantarkan umat untuk tergerak menjalankan syariat-syariat yang wajib, bahkan lalu menjadi sarana utama dan pertama juga agar warga tergerak; maka tradisi tahlil tentu dapat menjadi sarana strategi dakwah umat Islam.

Tetapi, ada beberapa hal yang menjadi koreksi bagi penganut tradisi tahlil. Adalah mayoritas jamaah yang pro-tahlil ini hanya sedikit yang mengerti pijakan hukum tentang tradisi tahlil. Oleh karenanya, diharapkan dengan terbitnya buku ini dapat menambah referensi tentang tahlil. Sehingga dapat menambah keyakinan dan kemantapan hati dalam setiap mengamalkan tahlil. Karena, jika kita mengamalkan sesuatu yang disertai dengan pemahaman landasan hukum yang kuat dan benar tentu akan dapat membuat hati lebih mantap dan yakin.

Melalui buku ini, penulis mengupas secara gamblang terkait tahlil. Bagian awal, diberikan penjelasan beberapa istilah seputar tahlil, yakni zikir, selamatan, kenduri, dan berkat. Istilah tersebut dijelaskan secara detail mulai dari asal katanya hingga landasan hukumnya. Di bagian kedua, penulis memberikan wawasan kepada pembaca terkait dengan amal saleh, meliputi shalat, puasa, sedekah, berdoa, membaca al-Qur’an, bershalawat kepada Nabi, dan zikir. Untuk mengantarkan pembaca dalam rangka memahami tahlil dan seluk-beluknya, di bagian tiga diuraikan tentang hadiah pahala yang membahas bagaimana menerima pahala amal sendiri, menerima manfaat dari amal orang lain, memeroleh manfaat dari syafaat, menghadiahkan pahala amal, ahli kubur selalu menunggu “kiriman”, dan berziarah kubur dan manfaatnya.

Adapun kerangka atau rangkaian dasar bacaan tahlil dan urut-urutannya dapat dibaca pada bagian empat. Madchan Anies memaparkan ada sembilan bagian pokok dalam tahlil, yaitu 1) tentang hadrah dan al-Fatihah; 2) surat al-Ikhlas, al-Mu’awwidzatain, dan al-Fatihah; 3) tentang permulaan surat al-Baqarah; 4) tentang surat al-Baqarah 163 dan ayat kursi; 5) tentang ayat-ayat terakhir surat al-Baqarah; 6) tentang bacaan tarhim dan tabarruk dengan surat Hud 73 dan al-Ahzab 33; 7) tentang shalawat, hasbalah, dan hauqolah; tentang bacaan istighfar, tahlil, dan tasbih; dan 9) tentang doa penutup tahlil. Penulis melengkapi pada bagian empat ini dengan menjabarkan keutamaan kalimat-kalimat suci tersebut dalam setiap bagian tahlil. Sementara di bagian akhir, penulis menambahkan hal-hal yang terkait dengan tahlil, meliputi kenduri (ambengan), membaca surat Yasin, Fidyah, dan Fida’ atau Ataqah.

Kiranya, buku ini perlu juga dibaca bagi pembaca yang “merasa” kontra terhadap tradisi tahlil. Setidaknya agar mereka membuktikan sendiri bahwa tradisi yang dipraktikkan oleh saudara mereka (baca: warga Nahdliyyin) juga memiliki pijakan dalil syar’i yang kuat. Walhasil, dengan memahami tahlil berikut landasannya, diharapkan akan tercipta sikap saling pengertian demi terwujudnya penguatan persaudaraan antar sesama. Semoga!